DAFTAR ISI

PANGAPORA

Dari Redaksi

PANDHAPA

Menyoal Minat Baca: Abd. A'la

ARTIKEL TAMU

Antara Minat Baca Dan Selera Baca: Tengsoe Tjahjono

ARTIKEL UTAMA

1- Tradisi Membaca di Kalangan Masyarakat Madura: Antara Kemiskinan, Peran Pesantren, dan Komunitas Ilmiah yang Rapuh: M Mushthafa

2- Membaca Tiang Peradaban: Musaheri

3- Menumbuhkan Minat Baca Siswa Melalui Kegiatan Di Sekolah: Syaiful Rijal Alinata, S.Pd

4- Guru Sebagai Manajer Dalam Membangun Karakter Minat Baca Anak: Drs. Pudji Andoko A.W., M.Pd

WAWANCARA

H.D. Zawawi Imron: Buatkan Anggaran untuk Pengembangan Minat Baca Masyarakat

ARTIKEL LEPAS

Menggugat Pendidikan di Antara Reruntuhan Budaya : Muhammad Saidi

Persoalan Wibawa Para Pendidik: Drs. Sujibto, S.Pd.

KOLOM

Membacalah tapi jangan hanya banyak membaca :Akhmad Nurhadi

Gemar Membaca : Problema A. Mudda'ie Ys

RESENSI

Pendidikan Menjadi Seorang Penulis: Siti Mamnunah al-Hanun

 

 

 

PANGAPORA

Mantan menteri agama Tarmedzi Taher pernah menceritakan pengalamannya pada saat dia berkunjung ke Jepang. Dalam suatu perjalanan di atas kereta, beliau sempat mengamati para penumpang. Ada dua pemandangan di sana: yang pertama penumpang yang asyik membaca buku, yang kedua penumpang yang tidur.

Demikian pula dengan masyarakat negara maju seperti Amerika. Salah satu kebanggaan keluarga dalam masyarakat Amerika adalah jika mereka memiliki ruang perpustakaan pribadi yaang lengkap, bukan show room mobil pribadi yang memajangkan mobil mewahnya di ruang garasi.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita tahu dan kita memaklumi kalau masyarakat Indonesia belum tiba ke taraf tersebut. Masyarakat kita masih sangat identik dengan budaya lisan-tutur daripada budaya baca-tulis. Namun, persoalan yang harus segera dipecahkan oleh kita bersama adalah bagaiamana kita bisa membantu menumbuhkan minat baca dan di sisi lain kita juga memfasilitasi sarana dan prasarananya informasinya.

* * *

Rendahnya minat baca sejatinya merupakan isu lama yang tidak henti-hentinya dipersoalkan, khususnya oleh kalangan pemerhati pendidikan dan kebudayaan. Mengapa demikian, karena tradisi baca merupakan batu fondasi ilmu pengetahuan. Membaca buku adalah menguak jendela dunia. Dengan membaca, kita dapat menjelajahi (khazanah ilmu pengetahuan) berbagai disiplin ilmu, berbagai jenis kebudayan.

Selama ini, isu rendahnya minat baca masyarakat senantiasa dikeluhkan oleh kalangan akademisi dan para pakar pendidikan karena informasi bernada miring yang mereka terima tentang hal ini, terutama menyangkut minat baca di kalangan siswa SLTA, yaitu masa-masa yang seharusnya gairah membaca sedang tumbuh pesat. Akan tetapi, kenyataan ini bukan berarti kita harus menyalahkan kelompok tersebut sebagai terdakwa. Barangkali, ada baiknya kita bertanya; bukankah untuk menumbuhkan minat baca harus juga ditopang dengan fasilitas yang lain, misalnya keteresediaan bahan bacaan dan fasilitas penunjang lainnya, semacam perpustakaan dan akses informasi yang memadai?

Seiiring dengan persoalan rendahnya minat baca di atas, kita juga dihadapkan pada suatu persoalan lain, yakni minimnya ketertarikan masyarakat pada dunia tulis-menulis. Baca-tulis adalah persoalan yang berkelit-kelindan. Seperti bunyi sebuah adagium, ‘jika ilmu adalah kuda liar, maka cara mengendalikannya adalah dengan tulisan.’ Nah, bagimana mungkin di satu sisi kita memaksa anak didik untuk gemar membaca sementara mereka tidak gemar menulis? Sementara, untuk maksimalkan serapan informasi yang mereka terima membutuhkan media agar dapat dicurahkan dan dikembangkannya melalui karya tulis.

* * *

Ada catatan penting atas rendahnya minat baca siswa-siswa SLTA kita, khususnya dalam hal minat baca karya sastra (yang sepatutnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan minat baca siswa terhadap khazanah buku-buku non-humaniora, misalnya buku-buku sains, hukum, dan ilmu-ilmu sosial). Dalam survei yang dilakukan oleh sastrawan Taufik Ismail terhadap 13 orang mantan siswa SMA di 13 negara, beliau menyimpulkan bahwa dalam hal minat baca karya sastra, siswa-siswa kita sangat tertinggal. Juga dalam hal tulis-menulis dan mengarang.

Di Jerman, siswa yang duduk di bangku SLTA telah membaca sekurang-kurangnya 15 judul buku karya sastra. Di New York, lebih dari 32 judul buku; Rusia 12 buku; Singapura dan Malaysia, masing-masing 6 judul buku karya sastra. Sementara dan Indonesia: 0 judul!

Meskipun sample survei yang dilakukan oleh Taufik Ismail kita anggap kurang mewakili kenyataan karena kita tidak tahu profil siswa respondennya, akan tetapi data ini seharusnya dapat membuat kita tarangsang untuk melakukan perbaikan minat baca masyarakat, dengan berbagi cara.

* * *

Edisi kali ini (Edisi Ke-3) Edukasi menyajikan sebuah sajian yang mengangkat persoalan minat baca ke hadapan para pembaca. Kami mengemas dan mengangkat isu tersebut dengan tinjauan dari berbagai perspektif. Kami arasa, tulisan-tulisan dalam edisi kali ini cukup memberikan penyegaran bagi kita untuk kembali mengangkat isu rendahnya minat baca.

Tentunya, kami juga berharap agar sajian kali ini dapat menggugah kesadaran masyarakat, walaupun hanya terwakili oleh komunitas spesifik, yakni para pembaca jurnal Edukasi ini, sehingga mereka dapat terangsang dan melakukan perubahan dengan memberikan penyadaran kepada masyarakat; alangkah pentingnya membaca!

 

Back To Daftar Isi

PANDHAPA

MENYOAL MINAT BACA

Oleh Abd A`la

Sejatinya membaca nyaris identik dengan ilmu pengetahuan, suatu aspek peradaban manusia yang utama yang mengantarkan manusia dapat mengembangkan kehidupannya. Bahkan proses ini terkait erat dengan eksistensi dan kearifan manusia itu sendiri. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang apapun, dari sosial, alam, hingga humaniora dan keagamaan berawal dari membaca. Budaya membaca merupakan salah satu penentu utama yang membuat ilmu pengetahuan berkembang pesat, dan mengantarkan manusia ke dalam kehidupan yang dinamis serta berwawasan luas sehingga manusia menjadi tidak gamang dalam menjalani kehidupan. Di atas itu, membaca secara kritis dan teratur-berkesinambungan akan mengantarkan manusia kepada kearifan yang humanis, bahkan religius. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan, kualitas manusia –dari zaman klasik hingga dan terutama pada zaman kontemporer ini –banyak dipertaruhkan melalui membaca.

Ironisnya, minat membaca teks buku bacaan dan sejenisnya pada masyarakat Indonesia masih sangat rendah, terutama di kalangan pelajar di tingkat dasar. Menurut Laporan Bank Dunia keterampilan dan minat baca pelajar tingkat dasar di Indonesia paling terbelakang di antara negara-negara Asia yang lain. Paling tinggi diraih Hongkong dengan angka minat baca 75,5, di bawahnya ditempati Singapura dengan angka 74,0, kemudian Thailand dengan angka 65,1, lalu dibelakangnya ada Filipina dengan angka 52,6, dan paling bontot adalah Indonesia dengan angka hanya 51,7.

Jika kita mau jujur, rendahnya minat baca itu bukan hanya menimpa pelajar di tingkat dasar semata, tapi tampaknya masyarakat secara umum. Kondisi semacam ini berdampak –langsung atau tidak –pada rendahnya kualitas manusia Indonesia. Dari tahun ke tahun kualitas ini terus melorot. Pada tahun 1999 Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) melaporkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada urutan ke-109 di antara 174 negara di dunia. Pada tahun 2003 Lembaga PBB itu menyebutkan, Indeks tersebut mengalami kemerosotan dari 0,684 ke 0,682 sehingga peringkat negara Indonesia turun dari posisi 110 (pada tahun sebelumnya) menjadi peringkat 112 dari 175 negara di dunia.

Angka memang tidak mampu menguak segala fakta, namun angka dapat menjadi petunjuk untuk membeber kenyataan yang sebenarnya. Kita jangan terpangku dengan angka, tapi dari angka itu kita mengungkap fakta. Maka terlepas dari angka-angka tersebut, jujur saja, lingkungan sekitar kita menelanjangi secara telak tentang minat baca masyarakat kita yang cukup memprihatinkan.

Pada saat yang sama, kita dapat melihat dengan kasat mata rendahnya minat baca berbanding terbalik dengan kesukaan masyarakat terhadap segala sesuatu yang bersifat audio-visual. Nyaris dipastikan, setiap rumah memiliki layar kaca dengan segala perangkat keras yang berhubungan dengan itu, semisal CD-player dan antena parabola. Sebaliknya, kita akan kesulitan setengah mati untuk menemukan ruang perpustakaan keluarga dan semacamnya pada masyarakat kita. Dari saat ke saat, masyarakat hanya disibukkan untuk menonton tayangan dalam beragam bentuknya. Pada umumnya, tayangan yang paling disukai mereka dan nyaris satu-satunya adalah yang bersifat hiburan murni. Tayangan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan sejenisnya nyaris terlewati, hanya dilirik ketika unsur entertainment-nya tampak begitu menonjol. Padahal budaya menonton sama sekali tidak dapat disamakan dengan budaya membaca. Menonton tayangan saintifik (sekalipun) di layar kaca dan sejenisnya tidak akan pernah memberikan pengetahuan sebanyak dan sedalam yang dibeberkan oleh buku dan bacaan lainnya. Ia hanya sekadar sebagai pendorong bagi kita untuk mendalami lebih jauh suguhan-suguhan bernuansa humaniora dan saintifik itu melalui penelusuran terhadap bacaan dalam beragam bentuknya.

Kita nyaris yakin, selama minat baca masyarakat kita rendah, dan selama budaya mereka terpaku hanya kepada hal-hal yang bersifat tontonan dan hiburan semata, mereka tidak bisa berharap banyak untuk mengembangkan kehidupan. Dalam kondisi seperti itu, mereka akan tetap terbelakang dan akan terus tertinggal dibandingkan dengan masyarakat negara-negara lain. Masyarakat akan terbuai dengan mimpi-mimpi yang ditawarkan aktor-aktor di balik layar kaca dan sejenisnya yang dengan gencarnya menjajah nurani, pikiran, dan akal sehat mereka.

Jika masyarakat tidak mau diperbudak orang dan bangsa lain, minat baca menjadi niscaya untuk ditumbuh-kembangkan. Bahkan bukan sekadar mengembangkan minat baca, tapi menjadikan membaca sebagai budaya masyarakat. Sebagai budaya, masyarakat akan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan mereka yang setiap saat selalu ditoleh dan menjadi rujukan. Mereka perlu menyikapi membaca sebagai kebutuhan hidup. Dengan demikian, jika mereka tidak membaca, mereka akan merasakan kehidupan ini tidak sempurna; ada yang kurang dalam hidup ini. Hanya melalui membaca awal dari kehidupan yang senyatanya dapat dimulai.

Pencapaian hal ini mensyaratkan penciptaan kesadaran tentang nilai penting membaca. Masyarakat perlu mengetahui bahwa kehidupan bukan sekadar mengisi perut dan menjalani rutinitas yang terkadang cukup melelahkan. Hakikat kehidupan, selain tentunya mengabdi kepada “Yang di atas sana”, adalah melakukan interaksi dialogis dengan manusia yang lain, lingkungan hidup, dan bahkan dengan sang Pencipta sendiri. Semua ini dapat dicapai dengan relatif sempurna hanya dengan membaca. Karena membaca yang benar dan kritis akan memperluas wawasan, memperkaya imaginasi, serta mempertajam nurani.

Kita harus belajar dari kesalahan kita, dari sejarah, dan dari bangsa-bangsa lain. Semuanya memperlihatkan, bahwa kemajuan, dan kesejahteraan hidup manusia, atau suatu masyarakat ternyata dimulai dari membaca dan dikembangkan melalui membaca. Dari budaya membaca teks-teks yang bersifat tulisan, nantinya dikembangkan, dan disandingkan dengan budaya membaca teks-teks alam semesta dan fenomenanya.

Dalam perspektif itu, persoalan lain mengedepan. Ternyata, masyarakat kita selain minatnya rendah dalam membaca teks-teks yang bersifat tulisan, juga sangat rendah kemampuan dan minatnya dalam membaca fenomena kehidupan dan diri mereka sendiri. Ada kecenderungan yang cukup mengat, mereka, terutama kaum politisi dan penguasa tidak mau atau malas membaca realitas yang ada di sekeliling mereka; tidak mau membaca aspirasi dan kepentingan masyarakat. Akibatnya, mereka hanya sibuk mengejar dan memperebutkan kekuasaan. Setelah mereka meraihnya, mereka nyaris sangat lumrah menyalahgunakan kekuasaan yang ada di tangan mereka. Tampaknya ada afinitas antara ketidakmampuan membaca realitas dan minat baca mereka yang rendah terhadap tulisan pada masa-masa sebelumnya. Ketidakbiasaan membaca teks-teks berupa tulisan berdampak –langsung atau tidak langsung –terhadap kemalasan mereka untuk membaca realitas dan fenomena kehidupan. Wajar saja demikian, sebab sebagian dari mereka memperoleh ijazah melalui lembaga pendidikan yang tidak jelas juntrungannya, bukan dari hasil jerih payah membaca. Alih-alih membaca realitas, membaca tulisan yang transformatif secara teratur dan kritis pun jarang (atau tidak pernah) mereka lakukan.

Yah, sebuah rekaan yang bisa salah, tapi kemungkinan besar benar. Coba saja perhatikan surat al-Alaq. Pada sisi itu ungkapan iqra` dalam Al-Quran surat ke-96 ini menemukan relevansi seutuhnya. Surat yang mengandung perintah untuk membaca ayat-ayat qur-aniyah dan ayat-ayat kawniyah ini diberi nama dengan al-`alaq (segumpal darah, asal usul manusia) tentunya bukan serampangan dan asal memberi nama. Nama itu memiliki makna relevan dan signifikan yang merujuk kepada adanya kaitan erat membaca di satu pihak dengan eksistensi atau keberadaan manusia di pihak lain. Konkretnya, membaca adalah salah satu eksistensi manusia yang paling dasar. Toh hanya manusia yang bisa membaca, dan hanya melalui membaca manusia mengetahui posisi dirinya yang sebenarnya. Tanpa rajin membaca dalam segala bentuknya, manusia cenderung berubah menjadi manusia yang liar, dan serakah. Silahkan lihat dan amati saja orang-orang di sekeliling kita. Bagaimana? Wa Allahu a`lamu bi l-shawab©.

 

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL TAMU

ANTARA MINAT BACA DAN SELERA BACA

Oleh Tengsoe Tjahjono

Membaca merupakan salah satu kegiatan bahasa yang amat vital dalam masyarakat modern dan lebih-lebih di kalangan akademisi. Dalam masyarakat setiap hari puluhan koran, majalah, bahkan buku-buku selalu diproduksi dan dipasarkan. Di dalam semua jenis media itu akan dijumpai informasi mengenai pengetahuan, berita, lapangan pekerjaan, iklan, dan sebagainya, yang mau tak mau harus diserap oleh masyarakat modern tersebut. Kecuali, jika masyarakat modern tersebut, hanya modern dalam dimensi waktu, bukan modern dalam dimensi kultural. Membaca, seharusnya, menjadi kebutuhan hidup masyarakat ini.

Rosidi (1983:86) menegaskan bahwa pengetahuan sebagian besar tidaklah didapatkan dari bangku sekolah, melainkan melalui buku. Banyak orang mengatakan bahwa buku itu sesungguhnya merupakan universitas yang paling baik.

Sedangkan di kalangan akademisi membaca menjadi jantung kehidupan mereka. Informasi yang diberikan guru atau dosen tentu amat terbatas. Untuk memperluas cakrawala akademik mereka buku merupakan sarana yang mesti diakrabi. Tanpa membaca buku seorang akademisi akan berjalan di lorong gelap. Analisis yang mereka lakukan terhadap segala persoalan hanya akan bersifat intuitif tanpa teori yang telah diuji kebenarannya melalui pelbagai penelitian. Akibatnya pembahasannya hanya akan seperti orang berbincang di warung kopi atau di tengah padang penggembalaan. Acapkali terjadi ‘debat kusir’ karena masing-masing pribadi hanya akan menonjolkan subjektivitas intuisinya. Hal itu disebabkan tidak adanya referensi yang mendukung atau menunjang kajiannya. Di situlah kegiatan membaca diperlukan oleh para akademisi.

Finochiaro dan Bonomo (1973:21) menjelaskan bahwa membaca berarti mengambil atau memahami arti dari bahan cetakan atau tulisan. Karena itulah membaca memang memerlukan persyaratan tertentu bagi pembaca agar ia dapat memahami makna tersebut. Menurut Nurhadi (1987:123) untuk memperlancar proses membaca, seorang pembaca harus memiliki modal: (1) pengetahuan dan pengalaman, (2) kemampuan berbahasa (kebahasaan), (3) pengetahuan tentang teknik membaca, dan (4) tujuan membaca.

Ada satu batasan membaca yang amat komprehensif yaitu: “Membaca adalah proses pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang dilakukan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang bacaan itu, dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu.” (Oka, 1983:17).

Oleh karena itu membaca bukan sekadar ‘melafalkan huruf-huruf’, tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita baca. Mengolah dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan tersebut. Kita dituntut memiliki sikap kritis-kreatif. Jadi kita harus menerima secara kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan nilai apa yang terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa dampaknya bagi diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.

Menurut Smith (1973:36) membaca bukan semata-mata proses visual. Ada dua macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama, informasi yang datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di belakang mata. Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf. Sedangkan, informasi yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang terkandung dalam bacaan itu. Memahami isi bacaan itu menuntut pembaca untuk memiliki kemampuan berpikir dan bernalar. Edward L. Thorndike pun mengatakan bahwa reading as thingking dan reading as reasoning.

Sudahkah Kita Membaca?

Selama ini selalu ada pernyataan bahwa kita belum mempunyai budaya baca. Atau, dengan kata lain minat baca kita rendah. Benarkah demikian?

Ketika saya berjalan-jalan di toko-toko buku, entah di Gramedia, Togamas, atau lainnya, selalu saya lihat berjubel orang di sana. Berjubel untuk memilih dan membeli buku. Anak-anak, remaja, dan kelompok usia dewasa ada yang mengerumuni buku-buku komik terjemahan dari Jepang juga novel-novel anak muda. Saat berada di dalam bus, kereta api, atau pun pesawat udara, acapkali kulihat banyak penumpang yang membaca di tempat duduknya. Panorama itu sekilas membuktikan bahwa minat membaca buku sudah ada.

Bahkan, jika kita sempat anjangsana ke perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, kita juga akan melihat para mahasiswa yang hilir-mudik mencari buku di rak-rak. Sementara, di meja-meja baca pun terlihat mahasiswa sedang suntuk menghadapi beberapa buku. Fenomena itu sepintas menunjukkan bahwa di kalangan mahasiswa pun membaca buku sudah menjadi kebutuhan.

Tetapi, benarkah itu merupakan indikasi bahwa minat baca telah tumbuh di antara mereka? Tampaknya kita harus secara kritis menanggapinya.

Jika kita perhatikan secara cermat yang banyak dikerumuni orang di dalam toko buku itu ialah gerai komik dan novel-novel teenage. Anehnya, segala umur terdapat dalam kerumunan itu. Komik dan novel teenage telah menjadi booming sekarang ini. Pembaca Doraemon, Sinchan, Detektif Conan, dan sebagainya bukan anak-anak atau remaja saja, mahasiswa pun tampak keranjingan dengan bacaan jenis itu. Hal itu tentu merupakan fenomena yang unik dan menarik di Indonesia.

Jadi, jika kita bicara mengenai minat baca, minat baca telah tumbuh di antara mereka. Tetapi, bagaimana dengan selera baca mereka? Selera baca tampaknya berjalan dengan trend bacaan yang ada. Artinya, pembaca kita dalam memilih bacaan bagai memilih makanan sejenis pizza, fried chicken, hot dog, dan sebagainya. Tanpa pernah berpikir apakah makanan itu sesuai dengan anatomi lambungnya yang diciptakan untuk hidup bertahan di daerah tropis. Tanpa pernah mengkaji apakah gizi yang terkandung dalam makanan itu sesuai dengan kebutuhan gizi masyarakat kita yang selalu diterpa sinar matahari.

Membaca dapat dianalogikan dengan makan. Makanan yang kita pilih tentu makanan yang penuh kandungan gizi, mineral, protein, vitamin, dan sebagainya sehingga mampu menyehatkan kita. Bacaan pun harus mampu menyehatkan jiwa kita. Bacaan itu setidak-tidaknya harus mampu memperluas cakrawala pengetahuan kita serta lebih jauh harus bisa mencerdaskan kita sebagai pembaca.

Fungsi bacaan tentu bukan sekadar untuk menghibur. Anderson (1972:214) mencatat beberapa tujuan membaca sebagai berikut.

Jika kita mencermati tujuan membaca menurut versi Anderson itu, kita berhak bertanya kepada mahasiswa yang gemar membaca Sinchan: tujuan yang mana yang hendak digapai? Jawabannya hanya satu: hiburan. Kalau itu jawabannya maka mahasiswa itu tidak akan pernah dicerdaskan oleh bacaan sejenis Sinchan tersebut. Gizi apa yang diperolehnya untuk kepentingan jiwanya setelah membaca Sinchan? Mungkin ia akan mengatakan bahwa gizi akan diperolehnya dari buku lain, bukan Sinchan. Dengan Sinchan ia hanya ingin dihibur. Tapi, benarkah ia membaca buku jenis lain?

Memang benar bahwa perpustakaan banyak dikunjungi mahasiswa. Hanya saja mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan rata-rata mereka yang sedang mengerjakan tugas makalah dari dosennya atau tugas akhir berupa skripsi. Untuk menulis skripsi pun mereka membaca skripsi yang sudah ada, kemudian mengutip beberapa bagian kajian pustaka dan metode penelitian. Andaikan tidak harus menulis makalah atau skripsi, mereka akan terlihat mojok memegang HP bersms-ria. Jadi, motivasi yang benar untuk membaca ternyata belum begitu tampak.

Adakah mahasiswa atau kita secara umum dengan penuh kesadaran membeli buku untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita? Mungkin jawabannya: ada, tetapi tidak banyak. Dan yang tidak banyak itu akan berkilah bahwa sekarang ini harga buku mahal. Benarkah mahal? Sebab di sisi yang lain mereka dapat membeli pulsa telepon seluler100 ribu rupiah tiap bulan. Hal itu berarti bahwa penyebab utama bukan pada mahalnya buku tetapi justru pada motivasi yang tidak ada, serta tampaknya buku belum menjadi prioritas dalam hidup mereka.

Subsidi Pemerintah untuk Buku

Peningkatan minat baca memerlukan sarana-prasarana. Sarana penting dan harus tersedia ialah BUKU itu sendiri. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas, seperti yang saya sebutkan di atas, harga buku tentu bukanlah alasan. Tetapi, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah buku menjadi benda yang amat mewah. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan subsidi bagi pengadaan buku murah tersebut.

Saat saya bersekolah pada tahun 1970-an buku bukanlah sesuatu yang mempersulit kehidupan keluarga saya. Semua buku pelajaran disediakan di perpustakaan sekolah, saya tinggal meminjamnya. Sehingga setiap awal tahun ajaran baru kami tak pernah merasa khawatir mengenai keuangan untuk membeli buku. Mengapa di masa sekarang ini hal itu tak dapat dilakukan? Bagi saya ini merupakan sebuah kemunduran.

Di samping buku-buku pelajaran di perpustakaan juga tersedia buku-buku referensi lain. Misalnya: novel, ensiklopedia, kamus, buku pengerahuan umum, filsafat, dan sebagainya, yang jumlahnya tidak hanya 1 atau 2 eksemplar, tetapi cukup untuk klas yang beranggotakan 40 siswa. Dengan cara demikian peningkatan minat baca bukan sekadar slogan kosong tetapi dibarengi dengan penyediaan sarana-prasarana.

Menurut Rosidi (1983:18) rendahnya minat baca bangsa Indonesia sekarang ini disebabkan terutama oleh rendahnya daya beli. Rendahnya daya beli itu disebabkan oleh rendahnya penghasilan umumnya bangsa kita. Oleh karena itu, jika perlu pemerintah membangun toko buku murah di setiap kota yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah itu.

Peningkatan Minat Baca

Minat baca itu hendaknya ditumbuhkan sejak anak usia dini, terutama melalui lembaga pendidikan. Kegemaran membaca bukanlah aktivitas yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap anak. Membaca merupakan kebiasaan yang harus ditanamkan, dipupuk, dibina, dibimbing, dan diarahkan. Pembinaan tersebut hendaknya diarahkan bukan hanya pada teknik membacanya tetapi juga pada pemilihan bahan bacaan. Anak harus dilatih untuk memilih bacaan dengan memperhitungkan aspek moral, bahasa, dan kesesuaiannya dengan kebutuhannya.

Luwarsih Pringgoadisurjo (1974) menyebutkan ada 3 klasifikasi buku untuk anak, yaitu: (1) buku referens (buku untuk memperoleh informasi), (2) buku studi (buku untuk membina pengetahuan), dan (3) buku rekreasi (buku untuk menikmati dan menghayati pengalaman). Jadi, anak hendaknya dilatih untuk memilih jenis-jenis buku tersebut yang akan memperluas cakrawala pengetahuan dan pengalaman mereka.

Kegiatan itu sangat bisa dilakukan di sekolah, lebih-lebih dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sekarang ini. Persoalan yang muncul adalah: (1) tersediakah buku-buku di perpustakaan sekolah secara memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas, dan (2) sudah siapkah guru-guru (bukan hanya guru Bahasa Indonesia, karena membaca merupakan keharusan setiap mata pelajaran) mendampingi siswa membaca?

Memang, diakui atau tidak, ada beberapa penghambat kegiatan peningkatan minat baca ini, antara lain:

Peningkatan Selera Baca

Tak ada salahnya anak-anak membaca Sinchan, Kobo-Chan, Doraemon, dan sebagainya. Tetapi, orang tua harus mengimbangi minat baca anak-anak itu dengan menyediakan buku-buku pengetahuan populer (buku pengetahuan yang ditulis dengan cara sederhana, bahasa yang mudah dipahami anak, penuh dengan gambar warna-warni, dan sebagainya) yang juga tersedia di toko-toko buku. Dengan cara demikian, selera baca anak-anak diarahkan ke pelbagai dimensi baca yang membuat anak diperkaya jiwanya.

Di usia SMP anak-anak di samping komik mulai diperkenalkan dengan novel-novel teenage. Artinya, anak mulai diajak untuk berpindah dari wilayah gambar ke wilayah lambang verbal. Hal ini penting sekali untuk melatih daya abstraksi mereka. Untuk mendapatkan pengetahuan umum anak sudah diarahkan untuk mampu membaca ensiklopedia secara cepat dan akurat misalnya. Setahap demi setahap bobot buku yang dibaca anak harus berubah, sehingga di SMA atau perguruan tinggi mereka tidak lagi kecanduan Sinchan. Sinchan sudah menjadi masa lalu mereka seharusnya.

Itulah sepintas pemaparan saya mengenai minat baca. Bagi saya minat baca sebenarnya sudah tumbuh dalam diri kita. Hanya saja minat baca tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan selera baca secara benar. Akibatnya, walau kita sudah membaca, kita tetap tidak dicerdaskan oleh bahan bacaan kita. Kita harus mau menumbuhkan kesadaran diri memilih bahan bacaan yang sungguh bergizi.

Di samping itu budaya baca bisa tumbuh bila tersedia buku-buku bacaan dan perpustakaan. Karena itu, campur tangan pemerintah dalam bentuk pemberian subsidi terhadap penyediaan buku murah sangat dinantikan. Tanpa itu semua peningkatan minat baca hanya akan menjadi sebuah utopia.

Malang, 26 Juli 2005

 

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, Paul S., 1972, Language Skills in Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Inc.

Finnocchiaro, Nary & Michael Bonomo, 1973. The Foreign Language Learner: A Guide for Teacher. New York: Regents Publishing Company Inc.

Oka, I Gusti Ngurah, 1983. Pengantar Membaca dan Pengajarannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Rosidi, Ajip, 1983. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastra. Surabaya: Bina Ilmu.

Smith, Frank, 1973. Psycholinguistics and Reading. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

 

TENGSOE TJAHJONO , lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair yang mempunyai hobi membaca ini merupakan staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPB Unesa Surabaya. Di samping itu ia juga mengajar di Universitas Widya Mandala Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, dan STKIP PGRI Sumenep. Puisi, cerpen, novel, bahkan naskah drama telah ditulisnya, di samping beberapa buku di bidang sastra. Artikel-artikelnya dimuat di pelbagai media seperti Jawa Pos, Surabaya Pos, Surya, Republika, Kompas, Horison, dan sebagainya. Pria yang sejak S1, S2, dan S3 ini berkuliah di Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang) di mana pun setia dengan celana jeansnya. No Rek BCA 0880843435 a.n. Tengsoe Tjahyono

 

Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

Tradisi Membaca di Kalangan Masyarakat Madura

Antara Kemiskinan, Peran Pesantren, dan Komunitas Ilmiah yang Rapuh

M Mushthafa

Membaca: Lokomotif Peradaban

Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar—yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan.

Demikianlah curhat yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma saat berpidato dalam penerimaan South East Asia (SEA) Write Award 1997. Seno bertanya perihal keberadaan dan aktivitasnya saat itu; apakah ada gunanya menjadi penulis dalam masyarakat semacam itu—dalam masyarakat yang Seno sebut “masyarakat tidak membaca”?

Secara implisit, dalam pidatonya itu Seno mengeluhkan belum kokohnya tradisi membaca “yang benar” dalam masyarakat Indonesia. Membaca masih diletakkan dalam kerangka aktivitas yang teramat sederhana, dalam fungsi-fungsi praktis sehari-hari yang nilai manfaatnya kurang berjangka panjang. Padahal, nilai guna membaca, jika sudah mentradisi, akan memberikan dampak yang mendalam baik bagi perkembangan masyarakat pada umumnya, dan secara lebih spesifik, pada peningkatan mutu (kehidupan) manusia dalam pengertian yang lebih utuh, dalam konteks agenda pemberdayaan pendidikan sebagai bagian dari kerja-kerja pembangunan kebudayaan.

Sungguh tak berlebihan jika dinyatakan bahwa tradisi membaca (termasuk tradisi menulis) juga turut memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi berkembangnya peradaban modern. Renaisans Eropa, yang merupakan cikal-bakal peradaban modern, antara lain didukung oleh tiga penemuan penting kala itu: kompas, mesiu, dan mesin cetak.2 Kompas memungkinkan orang untuk bertualang ke pelbagai penjuru dunia; mesiu menjadi piranti penting untuk menaklukkan suku atau bangsa lain—sehingga dimulailah periode kolonialisme bangsa Eropa; sementara mesin cetak memicu terjadinya “deklerikalisasi ilmu pengetahuan, di mana ilmu pengetahuan yang tadinya hanya merupakan monopoli kaum clerus (yaitu mereka yang menerima tahbisan dalam gereja) kemudian dapat dikuasai dan dinikmati oleh semua golongan lain yang berkepentingan dengannya”.3

Adalah seorang Jerman bernama Johannes Gutenberg (lahir sekitar tahun 1400 dan meninggal pada 1468) yang pada tahun 1450 menemukan mesin cetak.4 Mesin cetak ini telah benar-benar mengantarkan Eropa saat itu pada gerbang kebudayaan yang lebih maju, sehingga dalam sejarah peradaban Eropa momen penemuan mesin cetak itu populer disebut Revolusi Gutenberg.

Mengapa penemuan mesin cetak menjadi begitu revolusioner? Sebagaimana disebut di atas, mesin cetak telah memungkinkan terjadinya deklerikalisasi ilmu, massifikasi sumber-sumber pengetahuan yang sebelumnya hanya didominasi oleh para pemuka agama. Masyarakat kebanyakan kemudian memperoleh akses yang cukup terhadap sumber-sumber pengetahuan. Produk mesin cetak yang berupa buku atau yang semacamnya itu pada gilirannya membuka kesempatan yang lebar bagi potensi-potensi kemanusiaan di level yang bersifat massif untuk menemukan ruang kreatifnya. Dengan tertuangnya butir-butir pengetahuan dalam bentuk buku, yang kemudian dikonsumsi relatif secara lebih luas di masyarakat, tercipta kesempatan untuk lebih mengaktifkan kesadaran, analisis logis, dan pola pemaparan sebuah persoalan secara lebih analitis dan panjang.

Melalui buku, pernyataan-pernyataan dan wacana dapat dikaji ulang dan diperkarakan secara lebih kritis, rinci dan meyakinkan. Akibatnya muncul pula peluang untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran menjadi sistem gagasan yang luas dan mendalam. Dalam budaya lisan hal ini sulit untuk dilakukan, oleh sebab kalimat-kalimat hanya didengar dan diingat. Sedang ingatan tak pernah cukup mampu merekam kalimat-kalimat panjang, apalagi mudah lupa. Dalam alam modern menulis dan membaca, lalu, berfungsi bagai bahan bakar yang menghidupkan dan menjalankan mesin kesadaran, atau bagai air yang menyuburkan pemikiran.5

Tentu saja, dalam perjalanannya kemudian, peradaban Eropa yang salah satunya didukung oleh tradisi membaca (dan menulis) itu kemudian mengalami lika-liku dan pasang surutnya sendiri, baik dalam konteks tradisi baca-tulis itu sendiri, maupun dalam hal berbagai implikasi budaya yang ditimbulkannya.

Dalam ruang lingkup yang lebih sederhana, “keterampilan” membaca merupakan salah satu bentuk keterampilan dalam belajar, selain misalnya keterampilan menyimak, mencatat, dan menulis. Belajar dalam hal ini berkaitan dengan setidaknya kegiatan menghimpun pengetahuan teoretis maupun praktis. Dimensi teoretis yang dimaksudkan di sini, selain dimensi praktis yang sangat erat dengan aktivitas dan kebutuhan hidup sehari-hari, menyangkut belajar dalam arti pencarian manusia terhadap sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai dan hal-hal yang berada di luar jangkauan pencerapan indera. Dalam pengertian ini, membaca kemudian menjadi semacam “ sumber atau sumur inspirasi yang membuat atau mendorong orang terus merindukan kebaruan makna”.6

Masyarakat Tidak Membaca

Ada kejahatan yang lebih buruk dari membakar buku. Salah satunya ialah tidak membaca buku. Joseph Alexandrovitch Brodsky (1940-1996)

Tapi benarkah masyarakat Indonesia pada umumnya memang merupakan masyarakat tidak membaca, sebuah masyarakat yang seperti dikeluhkan Seno hanya membaca dalam pengertian yang “dangkal”? Ditilik dari sejarah, tradisi membaca itu sendiri pada mulanya memang bersifat elitis, dikuasai oleh para pemuka agama. Seperti sudah disinggung sebelumnya, penemuan mesin cetak telah membalik eksklusivitas sumber pengetahuan dengan terbukanya akses bagi masyarakat kebanyakan terhadap sumber-sumber ilmu. Begitulah yang terjadi di Eropa.

Sejarah perkembangan kebudayaan di Indonesia juga kurang lebih sejajar. Tradisi baca-tulis yang sudah cukup lama dikenal di Nusantara mula-mula merupakan bagian dari kehidupan istana. Dengan kata lain, semacam elitisme. Tradisi membaca dan menulis identik dengan para pujangga istana. Sayangnya, menurut pengamatan Ignas Kleden, tradisi baca-tulis, atau lebih umumnya lagi, pendidikan, di Indonesia, tidak seperti di Barat, tidak berhasil menciptakan demokratisasi pendidikan dengan terdesaknya kekuatan-kekuatan feodal oleh “borjuasi” baru yang terbentuk dari basis tradisi baca-tulis (pendidikan) tersebut. Justru kaum terdidik di Indonesia, yang terbentuk oleh kebijakan-kebijakan kolonial (politik etis) Belanda, masuk dalam kategori status feodal yang lain.

Yang ironis ialah bahwa sementara perluasan baca-tulis di Barat telah mengakibatkan deklerikalisasi ilmu pengetahuan, maka perluasan baca-tulis di Indonesia justru memperkuat proses klerikalisasi, di mana orang-orang berilmu diresmikan dengan gelar-gelar akademis dan kemudian berpartisipasi secara luas dalam birokrasi, tetapi tidak langsung terlibat dalam kerja dan proses-proses yang bersifat produktif.7

Salah satu wujud dari kecenderungan proses klerikalisasi ini dapat dilihat dalam maraknya orang-orang yang berburu gelar akademis di berbagai lembaga pendidikan tinggi, terutama dari kalangan birokrat, dalam beberapa tahun terakhir ini, dengan maksud lebih untuk meningkatkan citra diri atau gengsi sosial dan juga untuk keperluan praktis (baca: kenaikan pangkat). Jika memang dimaksudkan sebagai tindakan untuk memperkaya wawasan pengetahuan, biasanya kemudian terlihat betapa terdapat kontradiksi antara pilihan tindakan orang tersebut dengan pandangan dan sikap kesehariannya yang masih belum cukup menghargai bahan kepustakaan sebagai sebentuk simbol dari etos keilmuan. Seiring dengan hal ini, masyarakat secara relatif cenderung lebih memberikan penghargaan dan apresiasi terhadap gelar-gelar akademik daripada terhadap keterampilan atau penguasaan pengetahuan.

Maka tak heran bila masyarakat Indonesia pada umumnya masih memandang buku sebagai sesuatu yang mewah. Bahkan di kalangan insan pendidikan pun, buku belum mendarah-daging untuk dilibatkan dalam proses-proses pembelajaran. Kegiatan membaca dan menulis dirasakan sebagai aktivitas elitis yang memberatkan baik oleh siswa atau guru di sekolah dan dianggap sebagai kegemaran sekelompok orang yang biasa disebut orang-orang serius, intelektual, dan pemikir.

Buku, dewasa ini, adalah seperti tokek; ia termasuk jenis makhluk yang terancam punah. Terutama di Indonesia, di sebuah masyarakat yang dengan cepat, bahkan langsung, bergerak dari suatu keadaan pra-literer ke dalam keadaan pasca-literer, dari suatu lingkungan yang tak pernah membaca ke dalam suatu lingkungan yang tak hendak membaca, di mana media televisi mengisi hampir, setidaknya dalam dugaan saya, 50% dari waktu senggang malam hari orang Indonesia yang berpendidikan sekolah menengah.

…Tetapi di Indonesia, telenovela dengan wajah-wajah yang rupawan, film silat dengan pukulan-pukulan yang ajaib, dan puluhan kuis yang tidak menginginkan kecerdasan, semuanya begitu gilang gemilang, dan orang-orang bisa duduk di depannya, bersama-sama, rukun dan terpukau. Lagipula di rumah kelas menengah kita, mana ada sebuah kamar yang menyediakan buku?8

Tak salah jika dikatakan bahwa kehadiran televisi telah semakin memerosotkan sisa-sisa kekuatan tradisi membaca masyarakat Indonesia. Kehadiran televisi, terutama dalam 10 tahun terakhir ini, memang telah benar-benar menjelma sebagai daya tarik tersendiri bagi masyarakat, dengan sajian sinetron dan telenovela, tayangan-tayangan misteri, infotainment, atau berbagai kuis dan reality show.9

Tentu saja yang berperan membentuk “masyarakat tidak membaca” di Indonesia bukan hanya proses sejarah dan tatanan budaya Indonesia saat ini. Faktor-faktor objektif menyangkut keberadaan industri perbukuan, peran pemerintah (termasuk regulasi yang berkaitan dengan dunia perbukuan), suasana pendidikan di sekolah, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya, turut memiliki andil dalam soal ini.

Selain beberapa konteks makro Indonesia yang terjadi selama ini, sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, benarkah tradisi membaca memang berakar pada minat baca yang rendah? Tidak adakah faktor lain yang ikut menentukan? Dalam paparan berikut ini, tulisan ini ingin lebih memfokuskan pembicaraan dalam konteks masyarakat Madura.

Madura dan Kemiskinan

..."kata orang, minat baca di Indonesia tergolong rendah. Apa itu betul? Mungkin saja tidak. Mungkin saja jawabannya terletak pada sulitnya akses terhadap buku dan mahalnya harga buku tersebut."

Demikian petikan dari mailing list 1001buku, sebuah kelompok diskusi di dunia maya (internet) yang merupakan jaringan relawan dan pengelola perpustakaan anak yang bertujuan mengantarkan lebih banyak buku pada belia yang kurang beruntung. Komunitas 1001buku didasari prinsip kerja sukarela (volunteerism) individu membantu komunitas, dan komunitas membantu komunitas.10 Kemunculan komunitas semacam ini antara lain didasari atas kesadaran bahwa aksesibilitas masyarakat terhadap buku masih relatif sulit sehingga yang perlu dilakukan adalah upaya-upaya untuk membuka akses buku bagi masyarakat.

Kurang lebih semacam inilah yang terjadi di Madura. Keterbatasan akses masyarakat terhadap buku11 dan belum menguatnya tradisi membaca di Madura setidaknya berkaitan dengan dua hal: tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang belum membaik seiring dengan belum mapannya kualitas dunia pendidikan dan kurang maksimalnya peranan pusat-pusat pendidikan dan pembelajaran di Madura yang diharapkan dapat memajukan tradisi membaca dalam masyarakat.

Hal yang pertama, aksesibilitas masyarakat terhadap buku (atau, dalam domain yang lebih luas, pendidikan) sangat berkait dengan soal kesejahteraan ekonomi masyarakat. Persentase penduduk miskin di Madura menurut data tahun 2001 berjumlah 844.541 jiwa atau 26,54%.12 Tentu saja penulis tidak ingin secara gegabah berkesimpulan bahwa ada korelasi yang cukup signifikan antara tingkat kemiskinan dan daya beli masyarakat terhadap buku atau minat baca—karena tradisi membaca di Madura juga berkait dengan belum kokohnya komunitas ilmiah, seperti akan disinggung di bagian lain dalam tulisan ini. Akan tetapi, yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa kemiskinan, sebagaimana dinyatakan oleh Amartya Sen, seorang intelektual India peraih Nobel Ekonomi 1998, memperkecil kemungkinan akses atau kemampuan seseorang untuk memperbaiki kualitas hidupnya (baik itu dalam soal pendidikan, pemenuhan gizi dan makanan, pekerjaan yang layak, kesehatan, juga partisipasi politik). Kemiskinan telah mengurangi “perangkat kapabilitas” (capability set) seseorang untuk dapat secara bebas membuat pilihan yang lebih baik guna mencapai suatu taraf hidup yang lebih sejahtera dan manusiawi.13

Salah satu contoh dampak yang jelas tentang bagaimana kemiskinan cenderung menutup akses masyarakat untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, dalam konteks dunia pendidikan, terlihat dalam relatif tingginya persentase angka putus sekolah di tingkat SD pada tahun 1994 hingga 1998 (tingkat nasional). Tingkat pendaftaran di jenjang SD di periode itu dibanggakan, karena memang cukup tinggi, yakni sekitar 93,90% sampai 95,37%. Meski begitu, tingkat kelulusannya amat rendah (antara 26,39% sampai 30,57%), atau hanya sepertiga tingkat pendaftaran. Ini berarti dua pertiga anak-anak yang bersekolah di SD putus sekolah. Dalam analisis atas data tersebut, Dr. Francis Wahono SJ, yang dipresentasikan dalam sebuah seminar pendidikan di Yogyakarta tahun 2000 lalu, menegaskan penelitian dan pernyataan banyak orang bahwa ada kaitan erat antara beban ekonomi masyarakat dan kegiatan pendidikan. Jelasnya, lantaran kesulitan finansial, ujung-ujungnya adalah demi membantu ekonomi orangtua, anak-anak terpaksa memasuki pasar kerja yang keras kompetisinya.14

Dalam konteks inilah, keterpencilan anak usia sekolah dari pusat-pusat pendidikan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan mereka untuk tetap bertahan di sebuah institusi pendidikan mendorong untuk semakin menjauhkan mereka dari tradisi membaca. Pandangan ini memang terkesan agak menyederhanakan persoalan. Tapi sulit dipungkiri bahwa di pusat-pusat pendidikan (formal) itulah, dengan segala keunggulan dan pelbagai persoalan yang dihadapinya, setidaknya di Madura, tradisi membaca diharapkan dapat disemaikan. Tatanan sosial masyarakat Madura masih belum cukup memungkinkan untuk, misalnya, memulai memupuk semangat baca dari level kecil di keluarga atau lingkungan masyarakat sebagai alternatif dari ketidakmampuan ekonomi masyarakat yang putus sekolah tersebut.

Sementara kemiskinan telah mempersempit akses masyarakat untuk lebih dekat dengan dunia pendidikan (formal) yang diharapkan dapat menghidupkan semangat minat dan tradisi membaca, lembaga pendidikan formal (baca: sekolah) di Indonesia selama ini masih diduga kuat tidak terlalu berperan signifikan dalam menumbuhkan minat baca. Dalam sebuah seminar bertajuk “Minat Baca dan Keluarga” yang digelar di Jakarta tahun lalu pada acara Pesta Buku Jakarta 2004 diungkap bahwa sekolah tidak selalu menumbuhkan minat baca siswa. Kondisi kualitas buku pelajaran yang memprihatinkan, padatnya kurikulum, dan metode pembelajaran yang menekankan penghafalan materi, semua itu justru malah “membunuh” minat membaca siswa. Riris K Toha-Sarumpaet, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang menjadi salah satu pemateri dalam seminar itu, menyatakan bahwa kurikulum pendidikan yang ada sekarang cenderung mencekoki anak dengan materi sehingga ruang untuk menumbuhkan minat baca siswa menjadi menyempit.15

 Peran Pesantren

Situasi semacam ini membuat upaya untuk menumbuhkan minat dan tradisi membaca di Madura menjadi semakin rumit. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan bahwa dalam masyarakat Madura lembaga-lembaga pendidikan, baik yang formal maupun nonformal, lebih banyak terpusat dalam lembaga pondok pesantren (dan atau pendidikan formal keagamaan, baik itu Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, ataupun Madrasah Diniyah, yang biasanya juga berbasis pesantren),16 maka sebenarnya kita dapat berharap bahwa institusi pesantren dapat turut berperan lebih strategis dalam menumbuhkan minat baca masyarakat Madura.

Masyarakat Madura pada umumnya memang amatlah lekat dengan pesantren, sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa hampir semua orang yang terlahir di Madura dalam hal dunia pendidikan bersentuhan langsung dengan pesantren. Persoalannya, dalam konteks minat baca, sejauh mana peranan pesantren selama ini dalam proses penyemaian tradisi tersebut? Apakah minat baca di kalangan pesantren itu sendiri sudah cukup baik?

Sejauh pengetahuan-terbatas penulis, belum ada sebuah penelitian serius yang mencoba mencermati institusi pesantren di Madura dalam hubungannya dengan penumbuhan minat baca masyarakat. Meski begitu, berdasarkan pengamatan penulis selama ini, ada beberapa hipotesis yang ingin disampaikan dalam uraian berikut.

Pertama, persoalan minat baca di kalangan pesantren sejauh ini masih belum terlalu menjadi suatu titik permasalahan yang cukup mendapat perhatian dari para pengelola pesantren itu sendiri. Jika diamati dari sisi internal mekanisme pendidikan di pesantren yang dipraktikkan di Madura, tradisi membaca memang kurang mendapat ruang. Salah satu metode pembelajaran khas pesantren dan yang cukup banyak dipergunakan adalah metode wetonan atau bandongan, atau sistem ceramah. Kiai membacakan sebuah kitab di hadapan sejumlah besar santri, sementara santri mendengarkan dan mencatat. Metode musyawarah belum cukup banyak dipraktikkan di pesantren di Madura.

Sementara itu, sejauh menyangkut perpustakaan, atas pengamatan selintas penulis, kita mengetahui bahwa belum banyak—untuk tidak mengatakan belum ada—pesantren yang memiliki fasilitas perpustakaan yang cukup memadai. Perpustakaan terkesan hanya menjadi semacam pelengkap dalam tatanan institusi pendidikan di pesantren.

Sepertinya, secara umum dapat dikatakan bahwa kemunculan perpustakaan secara lebih mapan di sebuah pesantren, khususnya di Madura, lebih banyak karena didorong oleh masuknya sistem pendidikan formal yang disponsori negara (baca: Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional) ke dalam sistem pendidikan pesantren. Seiring dengan mulai kokohnya berbagai khazanah pengetahuan “baru” di pesantren (yang oleh orang-orang pesantren kebanyakan lazim disebut “ilmu umum”), maka kebutuhan akan bacaan-bacaan “ilmu umum” pun menjadi semakin meningkat, sehingga perpustakaan di pesantren mulai bermunculan.

Nah, dalam perkembangan selanjutnya, perpustakaan-perpustakaan di pesantren, baik yang berbasis kepada sistem pendidikan formal maupun perpustakaan yang dikelola pesantren itu sendiri, kurang mendapatkan perhatian yang signifikan. Memang bisa saja alasannya ada beberapa kemungkinan. Bisa karena anggaran untuk pengembangan perpustakaan di pesantren atau lembaga pendidikan di pesantren itu terbatas; sementara ada kebutuhan lain yang lebih mendesak di pesantren. Atau bisa karena memang perhatian yang kurang terhadap pengembangan perpustakaan itu sendiri. Terhadap beberapa kemungkinan ini, penulis lebih cenderung berkesimpulan bahwa yang lebih dominan adalah yang kedua, bahwa perpustakaan memang kurang begitu diperhatikan, karena walau bagaimanapun, jika perhatian terhadap perpustakaan itu tinggi, atas dasar kesadaran bahwa investasi pengembangan minat baca pada dasarnya merupakan sebuah langkah strategis yang akan sangat berguna, maka yang terjadi tentu akan lain.

Walaupun begitu, dalam situasi kurang diperhatikannya perpustakaan di pesantren, minat baca santri bukan berarti rendah. Seperti sudah ditegaskan sebelumnya, minat baca juga cukup turut dipengaruhi oleh keterbatasan akses. Beberapa pengalaman pribadi penulis menunjukkan bagaimana sebenarnya minat membaca santri (atau masyarakat Madura pada umumnya) sebenarnya tidaklah seburuk yang diduga, ketika, misalnya diberikan akses ke bahan kepustakaan yang tepat.17 Demikian pula, seiring dengan semakin mudahnya akses informasi dan komunikasi, komunitas santri di pesantren-pesantren di Madura pun menjadi relatif semakin lebih mudah mengakses bahan-bahan bacaan di luar sistem atau perpustakaan di pesantren itu sendiri.

Jika perpustakaan di pesantren kurang mendapat dukungan kebijakan dari pihak pengelola pesantren (baca: kiai), kira-kira apa yang melatarinya? Persoalan ini adalah poin kedua yang ingin dipaparkan di bagian ini. Menurut dugaan penulis, setidaknya ada dua hal yang membuat pihak pengelola pesantren kurang memberi perhatian pada pemberdayaan fasilitas perpustakaan (dan minat baca).

Pertama, penulis menduga kuat bahwa pihak pengelola pesantren memiliki pandangan yang kurang “bersahabat” dengan “huruf Latin”; sementara perpustakaan secara umum lebih identik dengan buku-buku berhuruf Latin. Kita telah mafhum bahwa pesantren adalah institusi yang lebih berkonsentrasi pada pengembangan ilmu-ilmu keagamaan yang terutama berbasis kitab kuning dan menggunakan bahasa Arab. Di kalangan pesantren sendiri, bahasa Arab diposisikan secara relatif “agak suci”, karena bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an. Sementara itu, huruf Latin dipandang, meski tidak secara eksplisit, membawa pengetahuan dan sistem epistemologi yang bersifat “asing” dan pada titik tertentu dapat mengancam keutuhan warisan pengetahuan berbasis huruf Arab. Mungkin pula ada semacam sisa-sisa stigma negatif, bahwa huruf Latin itu dibawa oleh para penjajah Belanda yang notabene kaum kafir. Kutipan berikut, meski ditulis dengan gaya personal, menggambarkan hal tersebut:

Aku tidak tahu persis apa yang dibaca oleh anakku itu. Apa pun yang mengalir dalam sungai huruf Latin itu, aku anggap tak begitu penting. Pengetahuan sejati ada dalam kitab-kitab berhuruf Arab. Itulah sungai yang jelas hulunya, dan ke mana alirannya bermuara. Aku menerima seluruh ilmu dari ayah mertua melalu jalan yang jelas dan pasti. Jalan itu disebut sanad, yang berarti sandaran. Aku jadi ingat pujian kepada Nabi itu: Yâ RasûlalLâhi ya sanadî / Anta BâbulLâhi mu‘tamadî (Hai utusan Tuhan, Engkaulah sandaranku / Engkau pintu Tuhan; Engkaulah peganganku).18

Pasase tersebut di atas juga menggambarkan salah satu kekhasan epistemologi tradisi keilmuan pesantren, yakni sangat dihargainya mata rantai (genealogi) intelektual yang jelas dalam sistem pewarisan suatu ilmu atau riwayat; bahwa muara dari suatu ilmu yang dipelajari itu dapat dilacak hingga dapat disandarkan kepada sumber utama teks (ulama terkemuka di zaman dahulu), atau bahkan kepada Nabi itu sendiri. Sementara itu, hal semacam ini tidak dimiliki oleh sistem epistemologi tradisi keilmuan yang diperkenalkan lewat buku-buku berhuruf Latin itu.19

Dalam situasi demikian, kebijakan pihak pengelola pesantren terhadap penguatan perpustakaan dan pengembangan strategis minat baca santri menjadi terkesan setengah hati. Di satu sisi pemahaman bahwa minat baca itu penting tak diragukan lagi memang ada, karena, minimal, mendapatkan basis pembenaran yang cukup kuat dalam norma Islam,20 tapi di sisi yang lain ada kekhawatiran yang cukup kuat bahwa penguatan minat membaca di kalangan santri dapat memberikan dampak yang kurang baik terhadap beberapa segi kehidupan pesantren.

Persepsi kurang baik terhadap buku-buku berhuruf Latin dapat ditemui dalam beberapa kasus. Dalam beberapa kesempatan perbincangan informal, penulis menemukan beberapa pandangan dari kalangan pesantren yang menyatakan bahwa salah satu penyebab mulai menurunnya kemampuan santri untuk mengakses khazanah kitab-kitab kuning adalah mulai dibacanya buku-buku berhuruf Latin di pesantren. Buku-buku ini dipandang secara pelan-pelan telah menggeser titik perhatian dan ketertarikan santri yang sebelumnya hanya menyatu pada kitab kuning. Memang belum ada sebuah penelitian yang lebih serius tentang dugaan kecenderungan semakin menurunnya kemampuan santri dalam membaca kitab kuning—meskipun fakta ini sepertinya cukup sulit ditampik. Namun demikian, mencari kambing hitam dengan semata menunjuk pada mulai masuknya buku-buku berhuruf Latin ke pesantren tentunya merupakan sebuah pandangan yang terburu-buru dan terlalu menyederhanakan persoalan.

Selain dituding sebagai biang merosotnya kemampuan santri dalam membaca kitab kuning, kehadiran buku-buku berhuruf Latin di pesantren juga dipandang turut mengundang berseminya gugus-gugus pengetahuan yang secara relatif cukup berseberangan dengan semangat epistemologis tradisi keilmuan pesantren—meskipun hal ini tentu masih merupakan sebuah persoalan yang bersifat debatable. Dalam bentuknya yang paling vulgar, buku-buku berhuruf Latin ini pada titik tertentu menjadi representasi dari pemikiran-pemikiran liar yang secara berlebihan merayakan kuasa nalar—sesuatu yang selama ini diidentikkan dengan pemikiran Barat yang amat “rasional” dan “liberal”.21

Di pesantren itu sendiri, kehadiran buku-buku berhuruf Latin ini cukup disambut secara hangat oleh kalangan santri, utamanya karena relatif dapat memberi warna baru dalam suasana semangat keilmuan di pesantren yang cenderung kurang semarak. Ini juga didukung dengan mulai banyaknya alumni pesantren yang melanjutkan ke perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi di luar Madura. Bahkan, beberapa pesantren di Madura juga telah memiliki perguruan tinggi. Di situlah kemudian perkembangan dan persentuhan santri dengan buku-buku berhuruf Latin semakin intens. Dari perspektif yang lain sebenarnya ini juga berarti bahwa interaksi warisan keilmuan pesantren menjadi semakin kaya dengan khazanah ilmu-ilmu sosial (“ilmu umum”). Sialnya, apa yang kemudian tampak sebagai hasil dari interaksi antara santri dengan buku-buku berhuruf Latin ini (baca: pemikiran “asing”) adalah bahwa ternyata para santri, setidaknya menurut pandangan kebanyakan masyarakat Madura (terutama kiai dan juga santri senior atau alumni), mulai terlepas dari ikatan tradisi keilmuannya sendiri yang selama ini dirawat dan dilestarikan di pesantren.

Hal kedua yang melatari kurang diperhatikannya soal minat baca dan perpustakaan di pesantren adalah lantaran adanya semacam paralelitas dengan kurang kokohnya pesantren di Madura sebagai sebuah basis komunitas ilmiah. Artinya, pengembangan berbagai tradisi keilmuan yang ada di pesantren dalam kerangka sistemik masih belum cukup mapan. Manajemen perencanaan dan pengembangan yang berkaitan dengan khazanah keilmuan pesantren dalam hubungannya dengan perkembangan zaman belum mendapat sentuhan yang cukup serius di kebanyakan pesantren di Madura. Sedikit sekali terlihat adanya rencana-rencana strategis berjangka panjang dalam rangka menghidupkan komunitas ilmiah di pesantren. Karena itu, cukup wajar jika perpustakaan kemudian kurang begitu diperhatikan.

Salah satu indikator masih lemahnya kebanyakan pesantren di Madura sebagai basis komunitas ilmiah adalah masih belum kuatnya tradisi menulis (berkarya melalui tulisan). Sekadar ilustrasi sederhana, jika dihitung, mungkin akan lebih banyak ditemukan kiai/santri yang sekaligus orator daripada kiai/santri yang sekaligus penulis. Perbandingan ini bukannya ingin mendiskreditkan profesi orator. Akan tetapi, khazanah pemikiran yang disampaikan melalui media tulisan relatif lebih leluasa untuk diperbincangkan secara lebih mendalam daripada materi orasi, sehingga dapat lebih mengembangkan dan mempersubur etos penelitian dan semangat bereksplorasi (kultur riset).22

Komunitas ilmiah yang rapuh di pesantren ini pada tingkat tertentu menjadikan potensi-potensi intelektual yang ada di pesantren kadang mengalami cukup kesulitan untuk dapat mengasah kemampuannya. Sosok-sosok potensial itu relatif sulit menemukan ruang-ruang kreatif. Kalaupun kemudian dari pesantren terlihat ada riak-riak semangat dan etos pengembangan keilmuan, itu belumlah cukup banyak dan, yang paling penting, belum menubuh ke dalam sistem dan mekanisme proses pendidikan di pesantren itu sendiri.

Agenda dan Harapan

Di tengah situasi semacam ini, bagaimanakah kemudian agenda dan harapan kita ke depan agar tradisi membaca dapat menjadi bagian yang menyatu dengan dunia kehidupan sehari-hari masyarakat Madura? Jika difokuskan pada sisi pesantren, sungguh banyak hal yang saat ini mesti dibenahi oleh pesantren itu sendiri, yang, baik secara langsung atau tidak, berkaitan dengan pengembangan tradisi membaca. Sebagian berkaitan dengan aspek manajerial pesantren, bagaimana mengelola berbagai potensi yang sangat kaya di pesantren; sebagian lagi dengan aspek kultur keilmuan, bagaimana menghidupkan semangat belajar dan bagaimana menyikapi nilai dan khazanah pesantren; sebagian lainnya berkaitan dengan akses dan fasilitas, bagaimana mengefektifkan dan membuka akses dan peluang terhadap fasilitas penunjang yang dibutuhkan.

Dalam kaitannya dengan upaya penguatan tradisi membaca, hal yang menurut hemat penulis cukup mendasar adalah soal penyikapan dan pemosisian yang lebih bijak terhadap hadirnya buku-buku berhuruf Latin dengan berbagai sistem epistemologi yang diusungnya itu. Khazanah dan nilai-nilai khas pesantren tentu saja adalah sesuatu yang amat berharga untuk begitu saja diabaikan. Penghargaan terhadap sanad atau genealogi keilmuan misalnya, sebagai sesuatu yang khas dalam epistemologi tradisi intelektual pesantren, pada dasarnya merupakan nilai lebih tersendiri yang patut dipertahankan. Sementara kehadiran buku-buku berhuruf Latin dengan berbagai bangunan pengetahuan yang dibawanya itu sepertinya merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan. Mungkin memang masih akan cukup sulit untuk menerimanya sebagai sesuatu yang bukan-produk-asing. Akan tetapi, menutup akses terhadap buku-buku berhuruf Latin yang dipandang “berbahaya” kadang belum tentu efektif dan belum tentu merupakan langkah yang tepat untuk melestarikan nilai dan khazanah tradisi pesantren. Selain melalui media penguatan internal dan sosialisasi yang lebih baik tentang nilai-nilai dan epistemologi tradisi pesantren terhadap santri, misalnya, mungkin akan lebih tepat jika dibuat pengaturan yang lebih bersifat kompromis.23

Setelah titik soal yang lebih bersifat paradigmatis ini diposisikan secara lebih bijak, tentu saja juga diperlukan sebuah iklim dan tradisi yang baik bagi pengembangan komunitas ilmiah di pesantren. Kegairahan belajar, mengkaji, dan mengolah warisan tradisi harus terus diupayakan, terutama dalam konteks pembentukan mekanisme sistemik yang lebih terencana—dan di situ, membaca memang harus menjadi tradisi. Komunitas ilmiah di pesantren ini diharapkan dapat meluas ke level masyarakat secara umum. Menurut hemat penulis, jika pesantren secara internal telah benar-benar mampu memperkuat tradisi intelektualnya (komunitas ilmiah), terutama dalam mengolah dan mengapresiasi berbagai warisan intelektual Islam klasik dengan pembacaan yang kaya, sekaya warisan Islam klasik itu sendiri, maka pesantren akan lebih mampu untuk ikut memberikan warna dalam perkembangan pemikiran dan laju perubahan zaman.

Selain aspek struktur makro dalam tatanan pesantren tersebut, langkah taktis jangka pendek yang dapat dilakukan adalah maksimalisasi fungsi perpustakaan yang sudah ada saat ini, baik yang berada di lingkungan pesantren maupun di lembaga sekolah formal. Dalam pengamatan selintas, penulis berkesimpulan bahwa perpustakaan yang ada selama ini di Madura, mungkin juga di tempat lainnya, belum banyak melakukan upaya-upaya yang bersifat proaktif untuk ikut menyemarakkan tradisi membaca. Perpustakaan hanya seperti sekadar gudang buku yang siap dipinjamkan. Idealnya, perpustakaan secara proaktif juga ikut memberikan motivasi kepada masyarakat di sekitarnya untuk menghidupkan tradisi membaca, misalnya dengan membentuk klub baca yang mengapresiasi dan mempromosikan karya-karya bermutu.24

Pengelolaan perpustakaan dalam konteks Madura juga perlu memerhatikan segi keterbatasan dana. Ini sebenarnya masalah klasik yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan di Madura pada khususnya. Untuk itu, hubungannya dengan penyediaan bahan-bahan kepustakaan di perpustakaan, kiranya dalam proses pengadaan koleksi pustaka harus betul-betul melalui pemilihan yang baik. Bahan pustaka yang akan dibeli harus benar-benar bagus dan cocok untuk komunitas anggota perpustakaan yang bersangkutan. Harus ada semacam prioritas, bahan pustaka macam apa yang lebih penting dikoleksi sebuah perpustakaan. Untuk perpustakaan sekolah misalnya penulis berpandangan bahwa idealnya koleksi perpustakaan yang ada dirancang untuk dapat mendukung berbagai mata pelajaran yang ada. Pemilihan bahan bacaan yang tepat ini menjadi penting bukan hanya karena alasan efektivitas dana, tapi juga karena bacaan yang kurang tepat dengan kebutuhan dan ketertarikan anggota komunitas perpustakaan kemungkinan tidak akan mendapat respons yang maksimal. Tentu saja ini kemudian menuntut adanya seseorang yang memiliki wawasan buku yang cukup memadai.

Sementara itu, dalam konteks proses pembentukan masyarakat ilmiah yang sadar akan nilai penting buku, bersepakat dengan gagasan Hernowo, perlu juga dilakukan semacam intensifikasi revolusi paradigmatik: bahwa buku sebaiknya didorong untuk dipersepsikan sebagai sesuatu yang lebih familiar, sebagai makanan. Lebih tepatnya lagi, buku adalah makanan ruhani yang diperlukan untuk memupuk kepribadian sehingga mengantarkan seseorang pada tingkat kedewasaan dan kematangan diri.25 Dengan revolusi paradigmatik ini, diharapkan buku kemudian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang elitis, tetapi juga menjadi semacam kebutuhan untuk lebih memperkaya kehidupan batin seseorang. Dalam hubungannya dengan media perpustakaan, revolusi paradigmatik semacam ini membutuhkan dukungan penyediaan bahan-bahan kepustakaan yang lebih bersifat populer. Jenis kepustakaan semacam ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk ke dalam kultur membaca yang lebih baik, menuju berbagai jenis kepustakaan yang lebih beragam dan terfokus.

Revolusi paradigmatik semacam ini menjadi amat penting jika dihadapkan dengan kenyataan, terutama di Madura, bahwa kerap kali orang-orang yang sudah cukup memiliki kemampuan ekonomi yang baik (kelas menengah) tidak terlalu tertarik untuk membeli buku sebagai makanan ruhaninya. Ironisnya, penulis menduga kuat bahwa kecenderungan semacam ini juga terjadi di kalangan terdidik di Madura.26 Kenyataan ini semakin mempertegas bahwa diperlukan upaya-upaya dini untuk lebih mengakrabkan bahan-bahan kepustakaan kepada anak didik. Karena itu, pembenahan lembaga perpustakaan mestinya juga harus dimulai dari perpustakaan yang diperuntukkan untuk usia anak-anak. Perpustakaan tingkat Sekolah Dasar (atau Madrasah Ibtidaiyah) misalnya harus lebih diprioritaskan untuk dibenahi terlebih dahulu baik fasilitas maupun pengelolaannya.

Terkait dengan hal itu, sejalan dengan sebuah pendapat yang penulis dapatkan belakangan, penulis secara pribadi berkesimpulan bahwa upaya-upaya untuk menanamkan minat baca sejak dini sebaiknya dimulai dengan bacaan-bacaan dongeng kepada anak.

Sastrawan Taufiq Ismail berpendapat, pengembangan budaya baca harus dimulai dari cerita anak-anak. Setelah itu dilanjutkan dengan pengenalan pada karya-karya sastra, kemudian baru ke buku-buku lain seperti biografi, agama, sejarah, dan sebagainya. "Selain memupuk minat baca, cerita anak-anak juga menanamkan nilai-nilai luhur yang ada dalam sistem budaya, sekaligus memberikan kearifan hidup bagi pembacanya," kata Taufiq Ismail ketika tampil pada salah satu sesi Seminar Kebahasaan dalam kaitan Sidang ke-38 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) di Batu (Malang), Selasa (9/3).27

Ini sebenarnya baik jika dimulai di level keluarga.28 Sementara itu, di perpustakaan tingkat sekolah dasar, koleksi-koleksi kepustakaan mestinya diperbanyak dengan buku-buku cerita anak yang menarik. Di tingkat yang lebih lanjut, seperti anjuran Taufiq Ismail di atas, pengenalan buku sastra dan buku “ilmiah” yang mengandung unsur sejarah dapat diperkenalkan kepada siswa-siswa di sekolah.

Upaya untuk mencari alternatif pembudayaan tradisi membaca di luar lingkungan pendidikan formal dan pesantren mungkin juga baik dilakukan, selain juga di keluarga, yakni dengan menghidupkan taman-taman bacaan di pusat-pusat pemukiman masyarakat. Ini mungkin merupakan pekerjaan rumah pemerintah daerah di masing-masing kabupaten.29 Tentu saja dukungan dan partisipasi semua pihak di masyarakat menjadi suatu keharusan untuk menciptakan suatu iklim tradisi membaca yang baik.

Berbagai ruang persemaian tradisi membaca, terutama sejak dini, sepertinya saat ini memang masih belum mendapatkan fokus ruang yang cukup solid. Yang bisa dilakukan sementara ini adalah maksimalisasi ruang dan peluang.

* * *

Beberapa hal yang dituturkan dalam tulisan ini menyangkut tradisi membaca dalam masyarakat Madura lebih merupakan hipotesis-hipotesis awal yang sebenarnya sangat membutuhkan penelitian, pengujian, dan diskusi lebih lanjut.

Dari gambaran sekilas tersebut di atas terlihat betapa upaya untuk menghidupkan tradisi membaca dalam masyarakat Madura bertalian erat dengan banyak aspek: dimensi paradigmatik, iklim pendidikan, kondisi sosial-budaya, keterbatasan dana (individu atau lembaga), ketersediaan akses dan fasilitas, dan sebagainya. Namun jika kita bersepakat bahwa tradisi membaca itu penting untuk meningkatkan kualitas manusia dan kemajuan peradaban, tentu tak ada pilihan lain yang harus dilakukan kecuali mulai membenahi semuanya dari hal-hal yang paling sederhana, yang paling mungkin kita lakukan, sesuai dengan posisi dan peran kita di masyarakat.

WalLâhu a‘lam.

 

CATATAN KAKI

1 Pidato Seno Gumira Ajidarma dalam Penerimaan South East Asia (SEA) Write Award 1997. Lihat, Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Yogyakarta: Bentang Budaya, Cet. I, Oktober 1997, hlm. 112.

2 Sebuah ilustrasi singkat tapi menarik tentang perkembangan awal Renaisans Eropa dalam konteks penemuan kompas, mesiu, dan mesin cetak ini dapat dibaca dalam karya Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Bandung: Mizan, Cet. II, Desember 1996, hlm. 219-220.

3 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, Cet. II, 1988, hlm. xxviii.

4 Riwayat hidup Johannes Gutenberg dapat dibaca dalam Encarta Reference Library Premium 2005, sebuah ensiklopedi multimedia berbasis Windows berkapasitas sekitar hampir 3 giga bytes yang diterbitkan oleh Microsoft, terutama pada entri “Johannes Gutenberg” dan entri “Printing”. Di situ juga digambarkan secara detail mesin cetak temuan Gutenberg itu, termasuk pula gambar contoh hasil cetakan awal yang dibuat dengan menggunakan mesin cetak tersebut.

5 I. Bambang Sugiharto, “Tafsir dalam Permainan”, dalam Ahmad Sahal, dkk (Ed.), Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Karya Pilihan Komunitas Utan Kayu), Jakarta: Yayasan Kalam, 1998, hlm. 109-110.

6 Wilson Nadeak, “Membaca, Menulis, dan Tradisi”, Kompas, 10 April 2005.

7 Ignas Kleden, Op. Cit., hlm. xxix-xxx.

8 Goenawan Mohamad, “Buku, Iman dan Pembebasan”, pidato pada ulang tahun Penerbit Mizan Bandung di bulan April 2003. Naskah lengkap pidato panjang Goenawan penulis download dari situs Penerbit Mizan, www.mizan.com.

9 Menarik dicermati bahwa hadirnya televisi sebagai sebuah kekuatan budaya sebenarnya juga terjadi di Barat. Televisi, yang merupakan sebuah produk teknologi peradaban modern—yang seperti disebutkan sebelumnya lahir dari tradisi baca-tulis—secara cukup ironis telah meminggirkan tradisi baca-tulis itu sendiri. Kian hari terjadi pergeseran dari pola membaca ke pola menonton. Jika dalam pola membaca yang lebih dominan adalah aktivasi kesadaran analitis-logis, maka dalam pola menonton yang berperan besar adalah gambar/imaji, yang dengan demikian “berbicara lebih langsung dan lebih menyentuh totalitas persepsi (kognitif, afektif, imajinatif)”. Tak heran jika dalam situasi seperti ini kekuatan-kekuatan tak sadar (hasrat, kehendak, dst.) menguasai kesadaran. Uraian selengkapnya, baca, I. Bambang Sugiharto, Op. Cit., hlm. 110-112.

10 Tentang komunitas 1001buku yang didirikan pada Mei 2002 ini, dengan berbagai aktivitasnya,, silakan baca selengkapnya di http://groups.yahoo.com/group/1001buku/. Laporan sekilas tentang komunitas milis ini sempat diturunkan oleh Kompas, 31 Januari 2003, “Minat Baca Kurang? Ah, Masaaak…!”.

11 Buku yang dimaksudkan dalam konteks masyarakat Madura di sini adalah buku berhuruf Latin, untuk dibedakan dengan kitab (buku berhuruf Arab).

12 Data ini didapat dari situs Biro Pusat Statistik Jawa Timur, http://jatim.bps.go.id. Perinciannya, di Kabupaten Bangkalan persentase penduduk miskin berjumlah 19,16%, Sampang 45,69%, Pamekasan 20,08%, dan Sumenep 21,21%. Di tingkat Jawa Timur sendiri, persentase penduduk miskin berjumlah 20,91%. Sementara itu, penduduk miskin tahun 2004 di Kabupaten Sumenep berjumlah 222.206 dari 1.033.389 jiwa (21,50%). Sumber: updating PKIB Kabupaten Sumenep 2004. Penulis kurang begitu paham dengan frasa “penduduk yang diduga miskin” dalam data tabel yang penulis dapat dari BPS Sumenep ini.

13 Penekanan pada pentingnya akses, kebebasan, dan pilihan, sangat tampak dalam pemikiran Amartya Sen. Uraian selengkapnya yang ditulis dengan detail dan cukup filosofis dapat dibaca dalam Amartya Sen, Inequality Reexamined, Cambridge: Harvard University Press, Cet. V, 1998, terutama hlm. 39-87.

14 Laporan selengkapnya dapat dibaca di Harian Kompas, 6 Oktober 2000, “Putus Sekolah, Kemiskinan, Anggaran Pendidikan”. Untuk analisis yang lebih aktual, baca Dwi Pudji Rijanto, “Kemiskinan dan Putus Sekolah”, Kompas, 4 April 2005. Sebuah penelitian tentang profil kehidupan siswa dari keluarga miskin dapat dibaca dalam tulisan Dedi Supriadi, “Masalah Pendidikan untuk Anak Miskin”, Jurnal Prisma, No. 5 Tahun XXIII, Mei 1994, hlm. 56-61. Sementara itu, di wilayah Jawa Timur, menurut data Departemen Pendidikan Nasional, untuk tahun pelajaran 2001/2002-2002/2003, angka putus sekolah tingkat SD mencapai 33.064 orang (1,02%) dan untuk tingkat SLTP mencapai 35.817 orang (3,32%). Berkaitan dengan hal tersebut, siswa lulusan SD yang terus melanjutkan ke jenjang SLTP di Jawa Timur untuk tahun pelajaran 2002/2003 berjumlah 71,59%, sedangkan siswa lulusan SLTP yang terus melanjutkan ke jenjang SMU berjumlah 85,42%. Data diakses dari situs Depdiknas, www.depdiknas.go.id. Sementara itu, persentase penduduk Madura usia 10 tahun ke atas yang berpartisipasi dalam dunia pendidikan (tahun 2003) tergolong rendah di antara kabupaten lain di Jawa Timur. Penduduk yang tidak/belum pernah bersekolah di Kabupaten Sampang mencapai 39,35% (terendah se-Jawa Timur), Sumenep 32,97%, Bangkalan 25,19%, dan Pamekasan 19,32%. Persentase tingkat buta huruf di Madura juga cukup tinggi; Sampang 39,72% (tertinggi se-Jawa Timur), Sumenep 30,42% (nomor urut kedua di Jawa Timur), Bangkalan 24,06%, dan Pamekasan 22,26%. Sumber: hasil Susenas 2003 Provinsi Jawa Timur. Data didapat dari BPS Sumenep.

15 Baca laporannya di Kompas, 22 Juni 2004, “Sekolah Tidak Selalu Tumbuhkan Minat Baca”.

16 Menurut data tahun 2003, di Kabupaten Sumenep terdapat 261 lembaga pesantren, 457 Madrasah Diniyah, 515 Madrasah Ibtidaiyah, 142 Madrasah Tsanawiyah, dan 42 Madrasah Aliyah (dapat diperbandingkan bahwa di Sumenep terdapat 737 Sekolah Dasar, 44 SMP, dan 23 SMU). Di sini terlihat bahwa jumlah pendidikan keagamaan (yang biasanya mayoritas berbasis pondok pesantren) relatif lebih banyak. Data diperoleh dari situs Pemerintah Kabupaten Sumenep, www.sumenep.go.id. Sementara, menurut data di situs Pemerintah Kabupaten Pamekasan (www.pamekasan.go.id), di Pamekasan pesantren berjumlah 165, dan madrasah berjumlah 372 (tanpa perincian yang jelas). Patut pula dicatat bahwa lembaga pendidikan berbasis pesantren tidak hanya lebih banyak secara jumlah, tapi wilayah persebarannya juga relatif lebih merata.

17 Seorang sepupu penulis yang kebetulan cukup akrab dengan dunia sastra dan seni pernah bercerita bahwa ia pernah meminjamkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli kepada tunangannya yang nyantri di sebuah pesantren di Pamekasan, dan ternyata buku itu dikembalikan dalam keadaan agak lapuk karena ternyata dibaca bergilir oleh banyak santri. Pengalaman yang tak jauh berbeda juga penulis alami.

18 Ulil Abshar-Abdalla, “Kitab Kawin-Mawin”, Jurnal Kalam, No. 19/2002, hlm. 122. Esai menarik ini adalah semacam refleksi pribadi Ulil atas perjalanan hidupnya baik sebagai santri maupun sebagai putra dari seorang kiai dalam bergaul dengan berbagai elemen produk kebudayaan urban.

19 Penghargaan terhadap kejelasan genealogi intelektual di pesantren misalnya terlihat dalam praktik penuturan mata rantai guru yang menjadi rujukan dari sebuah kitab yang sedang dipelajari, yang biasa disampaikan oleh seorang kiai setelah tamat mengajarkan suatu kitab tertentu. Biasanya perujukan bisa sampai tiba pada ulama yang menulis kitab tersebut. Praktik semacam ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh proses pengujian autentisitas hadis yang memegang teguh prinsip kejelasan sanad sehingga perujukan betul-betul dapat terbukti berujung kepada Nabi. Secara normatif, dalam Ushul Fiqh terdapat sebuah kaidah yang menyatakan bahwa sebuah teks yang perawinya, saat meriwayatkan sebuah teks, lebih mengandalkan hafalan yang disampaikan gurunya dipandang lebih kuat daripada teks yang perawinya dikenal lebih mengandalkan catatan tertulis yang diperoleh tanpa adanya seorang guru. Lihat, Sayf al-Dîn Abû al- Hasan ‘Alî ibn Abî ‘Alî ibn Mu hammad al-Âmidî, al-I hkâm fî Ushûl al-A hkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981, jilid ketiga, hlm. 260. Kaidah yang berkaitan dengan proses tarjî h (memilah dalil-dalil yang akan digunakan dalam proses penentuan suatu hukum) ini penulis duga kemudian memengaruhi dan dipergunakan dalam tradisi pewarisan keilmuan di kalangan muslim tradisional. Syekh Mu hammad Yâsîn ibn Mu hammad ‘Îsâ al-Fâdânî al-Makkî misalnya sampai menulis risalah khusus yang memuat genealogi intelektual dari setiap kitab yang dipelajarinya. Penulis menemukan dua risalah beliau, yang berjudul As ânid al-Fiqhiyyah (tanpa tempat, tahun, dan penerbit) dan al-‘Aqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânid ( Surabaya: Dâr al-Saqâf, Cetakan II, tanpa tahun). Dalam dua kitab ini ditulis secara lengkap mata rantai guru yang menjadi rujukan dalam proses belajar suatu kitab, yang meliputi tidak hanya kitab hadis saja, tapi juga fikih, tafsir, tawhid, tasawuf, sejarah, nahwu, balaghah, dan sebagainya.

20 Kalangan kaum muslim biasanya selalu menghubungkan etos membaca dengan wahyu pertama al-Qur’an yang menyerukan perintah membaca. Tentang hal ini dapat dibaca dalam karya Dr. M. Quraish Shihab, “Falsafah Dasar Iqra”, dalam “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XXVI, Oktober 2003, hlm. 167-171.

21 Lazimnya, filsafat dipandang sebagai salah satu aktor penting dalam menyuplai pemikiran-pemikiran liar tersebut. Padahal, sebagai catatan, kondisi “rasionalitas” dan mungkin juga “liberalitas” dalam khazanah pemikiran (filsafat) Barat sendiri sebenarnya tidaklah seragam dan sesederhana yang dibayangkan orang-orang pesantren kebanyakan. Kecenderungan terakhir dalam pemikiran filsafat Barat yang akrab disebut dengan posmodernisme misalnya justru semakin memperlihatkan digugatnya epistemologi pemikiran Barat yang dipandang terlalu angkuh dan teramat percaya pada ideologi rasionalisme, positivisme, dan termasuk modernisme. Semacam kesalahpahaman yang juga umum menggejala di pesantren atas disiplin filsafat adalah menyederhanakan pandangan bahwa filsafat hanya berkaitan dengan masalah teologi.

22 Ulil Abshar-Abdalla pernah mengulas soal minimnya karya tulis dari kalangan pesantren dalam tulisannya, “Pesantren dan Budaya Tulis”, dalam kumpulan tulisannya, Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. II, Mei 2000, hlm. 132-137. Dalam pengamatan Ulil, karya-karya dari pesantren biasanya ditulis dengan bahasa Arab dan atau bahasa daerah (Jawa, dan sebagainya). Sayangnya, di tengah minimnya karya-karya tersebut, penghargaan dan apresiasi terhadap karya yang ada kurang begitu baik, sehingga mungkin tidak mempersubur iklim kepenulisan di pesantren. Sementara di sisi yang lain Ulil melihat bahwa terjadi kemerosotan penguasaan santri dan kiai atas bahasa Arab sebagai alat ekspresi mereka. Ulil juga menilai rendahnya penghargaan dan apresiasi terhadap karya dari pesantren, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri.

23 Sejauh berkaitan dengan perpustakaan, misalnya, mungkin pihak pengelola pesantren dapat memantau bahan-bahan kepustakaan yang dikoleksi atau dengan memberi sistem klasifikasi dan rekomendasi bacaan yang pas dan atau bacaan pembanding. Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa pada dasarnya tradisi baca-tulis yang ideal sebagai basis dan sokoguru perkembangan pendidikan dan peradaban, menurut hemat penulis, secara epistemologis harus berakar pada prinsip kejernihan nalar dan keberimbangan, kejujuran ilmiah dan ketulusan moral. Baca, M. Mushthafa, “Bahasa, Yang Menjelma Jendela”, Jawa Pos, 17 November 2002.

24 Dalam sebuah diskusi di Perpustakaan Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep awal Juni 2005 lalu penulis mencontohkan misalnya dengan membuat agar suasana perpustakaan betul-betul mendorong dan memicu rasa ingin tahu dan semangat membaca pengunjungnya. Misalnya, dengan menempelkan resume (tinjauan, resensi) buku-buku bagus yang direkomendasikan oleh pustakawan atau guru di sekolah yang pas untuk dibaca komunitas anggota perpustakaan di tempat itu, menempelkan kisah hidup para penulis sukses dan ternama, menampilkan kutipan pendek dari sebuah buku menarik, menggelar diskusi (buku) di perpustakaan, dan semacamnya. Bandingkan dengan tulisan Hernowo berjudul “Agar Perpustakaan Tak Jadi Kuburan” di situs Penerbit Mizan Bandung, www.mizan.com.

25 Hernowo, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Bandung: Mizan, Cet. I, Februari 2003, hlm. 20-23. Juga, Hernowo, Mengikat Makna, Mengubah Paradigma Membaca dan Menulis Secara Radikal, Bandung: Mizan, Cet. III, Maret 2002, hlm. 83-106.

26 Dalam pengamatan selintas penulis, ini bahkan juga terjadi di kalangan kiai di Madura. Penulis menduga kuat bahwa tidak banyak kiai yang memiliki kecintaan pada buku sehingga sampai terus berusaha menambah koleksi kepustakaannya (selain kitab). Sebuah data menarik yang cukup berkaitan perlu juga diungkapkan di sini, yang menunjukkan bahwa daya beli dan minat baca masyarakat Indonesia, khususnya bacaan surat kabar, masih rendah dibandingkan dengan daya beli dan minat untuk membeli rokok yang sangat tinggi. Sebagai bahan perbandingan dalam nilai rupiah, belanja masyarakat Indonesia untuk membeli surat kabar kurang lebih hanya Rp 1,9 triliun/tahun. Sementara itu, untuk membeli rokok mencapai Rp 47 triliun/tahun. Data diperoleh dari posting seorang anggota milis “komunitas pantau”, tanggal 17 Juni 2005. Lihat, http://groups.yahoo.com/group/pantau-komunitas/. Data tersebut dapat juga diakses di http://mediacare.blogspot.com.

27 Dikutip dari berita di Harian Kompas, 10 Maret 1999, berjudul “Budaya Baca Harus Dimulai dari Cerita Anak-Anak”. Baca juga, Susanto Edi Yuniarto, “Menumbuhkan Minat Baca dengan Dongeng”, Kompas, 30 Januari 2003. Biro Pengabdian Masyarakat P.P. Annuqayah mulai akhir 2003 hingga awal 2005 terlibat dalam penyebaran komik Gebora, komik anak-anak terbitan Common Ground Indonesia (sebuah LSM internasional yang bergerak di bidang pengelolaan konflik) di sentra-sentra pendidikan anak (seperti Madrasah Ibtidaiyah, Taman Kanak-Kanak) di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Dua belas seri komik yang bercerita tentang lika-liku klub bola anak-anak dengan tema rekonsiliasi ini (yang masing-masing berjumlah 2000 eksemplar) mendapat sambutan yang luar biasa hangat dari anak-anak di berbagai tempat tersebut.

28 Sialnya, institusi keluarga juga menghadapi serbuan hebat dari media televisi. Saat ini, mungkin sudah amat jarang sekali orangtua yang akan sempat mendongeng (atau membacakan dongeng) sebelum tidur untuk anak mereka karena anak lebih banyak dibiarkan “dididik” oleh televisi. Baca, M. Mushthafa, “Menghargai Sejarah”, Jawa Pos, 13 April 2003.

29 Di situs resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep (www.sumenep.go.id) penulis sempat men-download beberapa arsip, masing-masing yang berjudul “Visi dan Misi Pendidikan di Kabupaten Sumenep”, “Tujuan Dinas Pendidikan Sumenep”, dan “Info Kebijakan Pendidikan”. Di ketiga arsip tersebut sama sekali tidak tercantum secara khusus visi dan agenda kerja soal pengembangan minat baca. Akan tetapi, dalam buku Peraturan Daerah Kabupaten Sumenep Nomor 18 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep Tahun 2001-2005 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep (2001) memang tercantum program pengembangan perpustakaan daerah dengan berbagai rencana kegiatan. Entah bagaimana realisasinya di lapangan.

 

M Mushthafa , lahir di Sumenep, penghujung Ramadan 1399 H. (Agustus 1979). Menyelesaikan pendidikan dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah di Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Melanjutkan studi ke Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Menulis tinjauan buku, esai, dan artikel di Harian Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, Surya, Surabaya Post, Solopos, Bernas, Pontianak Post, majalah Forum Keadilan, Panji Masyarakat, Gatra, jurnal Tashwirul Afkar, dan sebagainya. Pernah menjadi editor freelance untuk Penerbit Serambi Jakarta dan bekerja sebagai editor buku non-fiksi di Penerbit Bentang Yogyakarta. Setahun terakhir membantu memoderatori mailing list alumni Annuqayah dan berbagai aktivitas lain yang berhubungan dengan kegiatan alumni Annuqayah. Eksprimentasi menulisnya, yang meski belakangan tersendat-sendat, sebagian didokumentasikan di http://musthov.blogspot.com.

 

Back To Daftar Isi

MEMBACA TIANG PERADABAN

Oleh M U S A H E R I

Sekretaris PGRI Kabupaten Sumenep

Tonggak kemajuan peradaban dibangun dari tiga tiang utama. Membaca sebagai tiang pertama, menulis tiang kedua dan tiang ketiga adalah tradisi dialog. Ketiga tiang ini merupakan penyangga dalam membangun tahapan peradaban masa depan. Ujian ketangguhan seseorang dalam membentuk peradaban dari waktu ke waktu, sangat ditentukan oleh ketepatan dalam menempatkan ketiga tiang ini secara sinergis. Kemampuan menegakkan tiang ini dalam pelbagai dimensi kehidupan menjadi pertanda menentukan untuk melahirkan karya-karya peradaban yang bermakna.

Tiang demi tiang, jika ditegakkan dalam pencarian makna hidup melalui perjalanan waktu dengan proses berkesinambungan dan saling mendukung, akan memberi inspirasi bagi kehidupan peradaban yang terus bergerak dinamis. Aktifitas membaca sebagai tiang pertama menentukan kokohnya kegiatan menulis dan mantapnya melakukan tradisi dialog. Bila kegiatan membacanya lemah dengan kadar yang rendah, maka akan terjadi reaksi berantai redupnya produktifitas penulisan, stagnannya dialog dan robohnya kesadaran atas makna kehidupan yang dalam sebagai esensi peradaban.

Kegiatan membaca sebagai instrumen pencerdasan kecendekiawanan, perlu didukung oleh takaran intelegensi; bahan bacaan terpilih dari segala segi ideologi dan teknik penulisan bermutu, pengungkapan suara kesadaran terdalam dari simpul-simpul ruang kehidupan dan pemikiran; serta membutuhkan kesadaran, keinginan dan motivasi kuat melalui suatu kebangkitan minat baca tinggi. Kegiatan membaca adalah ibarat sumber inspirasi yang membuat atau mendorong orang terus merindukan kebaruan makna peradaban. Seseorang yang berhenti membaca akan berhenti berpikir, dan peradaban tidak lagi berkibar maju ( Nadeak, 2005).

Ayat pertama yang turun di Gua Hira, menyampaikan muatan pesan agar setiap pribadi mampu menangkap dan merangkaikan segala informasi sehingga mempunyai makna melalui aktifitas membaca; kemudian membuat kesimpulan dari hasil perenungan. Pemahaman terhadap iqra yang terambil dari kata qara’a mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun sesuatu sehingga mempunyai arti dan tujuan serta melahirkan satu dimensi pengertian yang sangat luas. Membaca mencakup proses pengumpulan fakta dan analisis, membaca situasi dan kondisi, dan sekaligus perintah untuk segera mengemban misi menjadikan hidup penuh arti (Tasmara, 2001).

Budaya membaca merupakan sesuatu yang berharga dalam mencapai kemajuan kehidupan dan ketinggian budaya sesorang. Untuk melihat apakah seseorang memiliki pengetahuan luas dan peradaban tinggi, sedang atau primitif dapat dilihat dari aktifitas literasi (baca-tulis) yang dilakukannya. Semakin tinggi aktifitas membacanya, maka dapat diduga semakin tinggi pula tingkat penguasaan pengetahuannya. Roijakers (1980), salah seorang pakar pendidikan, mengaitkan peranan literasi dengan pengembangan karier sesorang. Menurutnya, hanya melalui kegiatan membaca orang dapat mengembangkan diri dalam bidangnya masing-masing secara maksimal serta dapat mengikuti perkembangan baru yang terjadi. Dengan perkataan lain, kedudukan kemahiran membaca pada abad informasi merupakan modal utama bagi siapa saja yang berkehendak meningkatkan kemampuannya (Holida dan Sulistianingsih,1998). Maka bacalah dan bacalah buku dan kemampuan membaca merupakan wahana dan sarana untuk maju berkembang menyikapi tanda-tanda zaman guna membangun peradaban.

Membaca untuk Membangun Peradaban

Membaca bukan sekedar sebuah keterampilan. Lebih dari itu, membaca menurut Nadeak (2005) adalah sebuah kegiatan kreatif. Saat membaca, seseorang berdialog dengan dirinya sendiri; dengan tokoh-tokoh yang terkandung di dalam bacaan, saling mengasah intelek dengan pengarang dalam bayang-bayang rasa ingin tahu, terciptanya sanggahan kritis untuk meluruskan kegelisahan dan menjaring gagasan baru.

Dengan membaca, seseorang secara intelektual berguru kepada warisan pengarang masa lampau untuk membentuk dunianya pada masa mendatang, dengan ungkapan-ungkapan yang baru sejiwa dengan perkembangan zaman. Membaca adalah sebuah kegiatan menafsir makna dari kata yang tidak hanya konvensional, tetapi juga yang belum terkatakan, sesuatu yang tersirat. Sejumlah tanda-tanda pemahaman diperlukan, sebagai sarana untuk menggali makna yang mengintai, yang pada gilirannya melahirkan pemahaman baru dan menandai simpul-simpul pemikiran.

Berkat membaca, suatu pengertian lebih mendalam tentang suatu gejala yang terjadi dan berlangsung dengan rumit dan kompleks dapat ditangkap maknanya, dapat menganalisis aspek‑aspek yang dibaca dengan menguak tabir kegelapan, serta dapat mengaitkan dengan berbagai gejala lain yang mengurai kusutnya kehidupan. Secara singkat dengan membaca akan diperoleh hasil, baik informasi, pengertian, pengetahuan, keterampilan, motivasi, maupun fakta seperti yang disajikan oleh bahan bacaan ( Depdiknas, 2003).

Dari hasil membaca dapat memanfaatkan hal‑hal yang telah dibaca, baik bagi pembangunan diri si pembaca, keluarga, masyarakat dan akhirnya terbentuk budaya baca masyarakat. Selain itu, membaca dapat membina sikap mental, menghargai waktu, sikap obyektif dalam membahas suatu masalah, mementingkan fakta atau informasi; sebagai modal besar dalam membangun peradaban. Maka, Tidak akan tumbuh peradaban dengan subur tanpa dipupuk oleh semangat membaca. Membaca pintu gerbang meningkatkan wawasan; membaca modal dasar bernalar dan berkreasi; membaca kunci pembuka pintu kearifan; dan membaca tiang pancang peradaban. 

Membangun Minat dan Kemampuan Membaca

Minat baca modal besar membangun kemampuan membaca. Minat baca tinggi umumnya frekwensi membacanya pun sangat tinggi dan waktu yang dipergunakannya sangat tinggi pula. Seseorang yang mempunyai minat baca tinggi, akan melakukan banyak kegiatan membaca, dan secara bertahap meningkatkan kemampuan membaca seseorang. Orang yang mempunyai minat baca yang baik umumnya melahap aneka bacaan atau bacaannya sangat variatif.

Ajip Rosidi (1987) menjelaskan bahwa minat baca bukanlah sesuatu yang tumbuh secara otomatis. Melainkan, minat baca ditanamkan, ditumbuhkan serta dipupuk dan dibina sejak anak-anak masih dini. Dalam membangun minat baca diperlukan bantuan serta partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat mulai lingkungan sekolah (guru), lingkungan masyarakat, pemerintah, dan paling utama adalah dukungan dari pihak keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian Thorndike ( 1987) yang dilakukan di lima belas negara termasuk di dalamnya negara-negara berkembang, pengaruh keluarga sangat tinggi kontribusinya dalam mempengaruhi terbentuknya minat serta kemahiran membaca pada anak-anak. Bahkan, Thorndike menyatakan bahwa tidak terdapat indikasi bahwa anak-anak yang memiliki minat serta kemahiran membaca unggul sebagai akibat langsung (pengaruh) dari pengajaran membaca yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.

Bahwa anak harus didekatkan pada buku sejak masih kecil untuk membentuk menjadi manusia berwatak, arif berwawasan dan berinteligensia tinggi di kemudian hari merupakan langkah strategis. Minat dan kecintaan seorang anak untuk gemar membaca ditanamkan dan dimulai oleh ibu dan bapak. Ibu dan bapak dapat memberi contoh kepada anak-anaknya. Bagi ibu dan bapak yang gemar membaca; dan dapat menunjukkan pada anak bahwa buku adalah sebuah obyek yang dapat dinikmati, memberi kesenangan dan informasi berguna, akan memberi inspirasi pada anak untuk menirunya.

Menurut DN. Norton (1989), seorang pakar membaca dari Universitas Texas mengatakan sesungguhnya merupakan sebuah persepsi yang salah jika banyak orang tua yang mengatakan bahwa anak-anak itu tidak memiliki kesenangan membaca buku. Menurut kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan, pada dasarnya semua anak senang melakukan kegiatan membaca dengan syarat pihak orang tua mau menyediakan buku-buku bacaan yang memang cocok dengan kondisi mereka, baik dari segi isi maupun bahasanya. Menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anak, dengan cara menyediakan bacaan yang disukai, pasti anak-anak dengan penuh suka cita akan melakukannya. Meskipun, mengupayakan agar anak-anak gemar dan mahir membaca, memang bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan murah, karena faktor-faktor yang turut mempengaruhi minat serta kemahiran membaca pada diri seseorang itu tidaklah tunggal, tetapi cukup kompleks, dan juga kemampuan membaca bukanlah kemampuan bawaan (innate), melainkan sesuatu yang harus diupayakan oleh semua pihak dengan penciptaan kondisi yang kondusif.

Dalam rangka membangun kemampuan membaca, Yap (1978) menegaskan bahwa kemampuan membaca seseorang ditentukan oleh kualitas membacanya; dan kemampuan membaca seseorang sangat ditentukan oleh lamanya seseorang melakukan aktifitas membaca. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Yap melaporkan hasil penelitiannya, bahwa 65% ditentukan oleh banyaknya waktu yang digunakan untuk membaca, 25% oleh faktor IQ, dan 10% oleh faktor-faktor lain berupa lingkungan sosial, emosional, lingkungan fisik dan sejenisnya. Dengan demikian, menurut Yap jika berniat untuk meningkatkan kualitas kemampuan membaca seseorang, perbanyaklah melakukan aktifitas membaca. Dengan demikian, Yap termasuk seorang pakar membaca beraliran behavioristik, suatu aliran yang menyatakan bahwa pemerolehan kemampuan membaca seseorang itu sebagian besar dipengaruhi oleh frekwensi (keseringan) waktu yang digunakan oleh seseorang untuk membaca.

Motivasi membaca juga merupakan modal penting dalam menumbuhkan kemampuan membaca. Motivasi membaca adalah pendorong, penggerak dan pemberi semangat untuk terciptanya kegiatan membaca seseorang melalui bahasa sebagai lambang-lambang tertulis. Dengan jalan melihat, memahami dan melisankan dalam hati melalui suatu bacaan yang dilihat untuk menangkap makna kata dan kumpulan kata yang tersirat dan tersurat guna memperoleh pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikap. Motivasi membaca merupakan hasrat untuk membaca dari seorang individu. Seseorang dapat membaca secara lebih efisien apabila ia berusaha untuk membaca maksimal, artinya seseorang memotivasi dirinya sendiri untuk membaca. Pada individu yang membaca, terjadilah suatu keadaan peningkatan kesiap-siagaan, ketajaman perhatian, dan ketegangan otot (Holida dan Sulistianingsih,1998) .

Motivasi membaca dapat datang dari dalam diri seseorang; dan motivasi yang timbul dalam diri seorang individu lebih stabil dan mantap apabila dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari pengaruh lingkungan. Dengan berubahnya lingkungan yang menimbulkan motivasi ini, maka motivasi membaca juga akan mengalami perubahan. Motivasi dalam diri seorang individu untuk membaca dapat dibangkitkan, ditingkatkan, dan dipelihara oleh kondisi-kondisi luar. Sikap, pribadi, dan kepemimpinan guru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap motivasi siswanya. Kepribadian guru yang menyenangkan, sikap terbuka dalam menerapkan pelajaran, dan menunjukkan perhatian yang wajar kepada siswa cenderung dapat menimbulkan dan memupuk motivasi untuk belajar secara efisien. Cara-cara memberikan pelajaran yang dilakukan oleh guru juga cukup kuat pengaruhnya terhadap motivasi membaca siswa.

Guru merupakan motivatori siswa agar aktif membaca, terlibat, dan berperan serta dalam setiap pelaksanaan proses belajar-mengajar membaca di kelas. Karena itu, guru perlu memikirkan sebaik-baiknya usaha-usaha yang patut dilakukan untuk membangkitkan motivasi membaca siswa agar kegiatan belajarnya aktif mengalami. Perencanaan pengajaran, pengorganisasian kelas, penataan ruang, evaluasi, dan sebagainya juga menentukan motivasi di dalam proses belajar-mengajar, dan dapat membangun gairah dalam membaca siswa.

Guru bahasa dapat mengembangkan, meningkatkan dan memotivasi keterampilan-keterampilan siswa yang di butuhkan dalam membaca. Guru dituntut memperluas pengalaman pelajar sehingga dapat memahami keadaan dan seluk–beluk kebudayaan; mengajarkan bunyi-bunyi (bahasa) dan makna-makna kata-kata baru; mengajarkan hubungan bunyi bahasa dan lambang simbol; membantu para pelajar memahami struktur-struktur (termasuk struktur kalimat yang biasanya tidak begitu mudah bagi pelajar bahasa);mengajarkan ketrampilan-ketrampilan pemahaman (comprehension skills) kepada para pelajar; dan membantu para pelajar untuk meningkatkan kecepatan dalam membaca.

Untuk menjaga agar motivasi atau dorongan membaca selalu besar, maka pengajaran yang dilakukan oleh guru berjalan dalam dua arus yang sejajar: Pertama:guru membantu para pelajar membaca bahan-bahan yang menarik serta bermanfaat secepat mungkin; Kedua, guru secara sistematis mengajarkan korespondensi atau hubungan-hubungan bunyi dan lambang yang diperlukan oleh para pelajar untuk memahami serta mendorong mereka membaca sendiri. Agar seimbang dan tidak berat sebelah, maka hendaknya lebih banyak waktu dipergunakan untuk membaca secara aktual bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat kematangan para pelajar (Finocchiaro and Bonomo dalam Tarigan,1990).

Dalam meningkatkan kemampuan membaca dibutuhkan keteraturan, kedisiplinan, dan konsentrasi. Pokok pangkal pertama dari cara membaca yang baik ialah keteraturan. Hanya dengan membaca secara teratur seseorang akan memperoleh hasil yang baik. Kalau sifat keteraturan dalam membaca ini telah benar-benar dihayati sehingga menjadi kebiasaan seseorang dalam perbuatannya, maka sifat ini akan mempengaruhi pula jalan pikirannya. Asas keteraturan dalam membaca itu senantiasa menjelma dalam tindakan-tindakan pembelajar setiap harinya. Bahan-bahan belajar setiap hari dipelajari, dibaca sekurang-kurangnya sekali. Buku-buku pelajaran dipelajari secara tertentu setiap hari. Asas lain dalam cara membaca yang baik sebagai faktor keberhasilan membaca ialah disiplin. Dengan jalan berdisiplin untuk melaksanakan pedoman-pedoman yang baik di dalam usaha membaca, barulah seseorang mungkin mempunyai cara belajar yang baik. Berkonsentrasi dalam membaca juga menjadi faktor penting keberhasilan membaca (The Liang Gie, 1985).

Untuk menjadi seorang pembaca yang baik di samping menguasai metodenya, kebiasaan-kebiasaan yang baik dibutuhkan misalnya: membaca harus memiliki tujuan, bukan membaca asal membaca; ada rencana dan persiapan untuk membaca, menyiapkan alat tulis sewaktu membaca untuk memberi tanda-tanda atau catatan-catatan lain dari yang dibaca, cahaya penerangan datang dari arah belakang, buku dipegang oleh tangan dan tidak terletak mendatar di atas meja, jarak mata dengan buku kira-kira 25-30 cm. Membaca tidak dengan tidur; dan tiap membaca 1-2 jam istirahat 5-10 menit (Ahmadi, 1991).

Hal penting lain dalam meningkatkan motivasi membaca ke arah kemampuan membaca, adalah dengan menyediakan perpustakaan dan menciptakan suasana perpustakaan yang nyaman dan tenang yang mencirikan suatu ruangan untuk anak-anak dan remaja, baik itu pada perpustakaan umum maupun sekolah. Ruang yang bersih, terasa lega dan buku-buku disusun secara rapi dan teratur serta terawat bersih dengan sendirinya menjadi pembelajaran pada anak untuk mencintai dan menyukai memasuki suatu ruangan perpustakaan sebagai tempat menimba ilmu dan mencari inspirasi yang positif.

Hal ini menuntut aktifnya seorang pustakawan membuat program untuk menarik anak datang ke perpustakaan; sekaligus secara tak langsung memberitahukan pada masyarakat sekitar adanya perpustakaan di kawasan tempat mereka tinggal. Program yang bisa dilaksanakan, seperti menyelenggarakan kelas melukis: pameran lukisan dan lomba melukis, musik, tari, drama dan nyanyi; menyelenggarakan kelas pekerjaan tangan : membuat berbagai prakarya; kelas permainan : catur, kuis, congklak; permutaran film/video untuk anak dan remaja; membacakan cerita; membedah buku/berdiskusi setelah acara mendongeng; mengadakan kegiatan penelitian kecil-kecilan untuk meningkatkan rasa ingin tahu; mengundang penulis dan ilustrator untuk bertatap muka dengan anak-anak; menerbitkan majalah perpustakaan yang berisi hasil karya anak-anak yang menjadi anggota perpustakaan; mengundang ahli untuk berceramah pada anak-anak; dan mengadakan pameran buku ( Bunanta, 2004).

 

Pemimpin Tak Membaca = Kecelakaan Peradaban

Seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat (Leroy Eims). Seorang pemimpin sebagai penggerak utama perubahan dituntut lebih banyak pengetahuan daripada orang lain yang semestinya untuk diberi pengetahuan, lebih mahir dalam mengantisipasi apa yang akan terjadi; dan lebih paham menentukan strategi dalam mencari solusi permasalahan. Singkatnya, seorang pemimpin harus lebih banyak memiliki kecerdasan intelegensia, emosional, sosial dan spiritual daripada orang lain.

Perjuangan seorang pemimpin dalam mengawal perjalanan kehidupan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Hal ini menyiratkan pesan penting, bahwa membaca, diteruskan menulis dan mengembangkan dialog adalah kerja wacana; serta mencipta dan mencipta selalu memasyaratkan membaca. Kian ba­nyak mencipta, kian banyak membaca; kian banyak bacaan, kian kaya hasil penciptaan ( Latif,2005). Dengan demikian, jelas, bahwa tanpa membaca bagi seorang pemimpin bersiaplah bukan sekedar akan gagal dalam memimpin, melainkan bersiaplah digilas deru kemajuan peradaban.

Melling dalam Rohman (2005) mengatakan, rakyat dapat mengukur seberapa jauh pemikiran universalnya dan seberapa jauh seseorang pemimpin memiliki kekuatan besar untuk menempa serta membentuk watak rakyatnya, dapat diukur dari karya instrumental yang dihasilkan bukan semata-mata merupakan obyek perhatian estika, melainkan pula semua yang penuh makna dengan seperangkat ide inovatif, nilai fondamental dan instrumental; dan emosi kepribadian yang berkarakter.

Suatu keprihatinan tampil kepermukaan, kini mulai langka menemukan kecerdasan pikiran sebagai figur utama kebijakan dan tindakan untuk menentukan bobot pemimipin. Kemunduran terbesar saat ini adalah pada kemunduran dalam menghargai pikiran. Padahal, untuk menjadi pemimpin, Plato memberikan syarat utama adalah kualitas pemimpin yang disandarkan pada nafs atau akal manusia dan tidak pada “jasad” manusia. Sebab, akal inilah yang nantinya menuntun pemimpin dalam empat kebajikan pokok sepanjang masa terus dibutuhkan rakyat, yakni memiliki pengendalian diri, keberanian disertai wawasan, kearifan, dan keadilan.

Di sinilah letak pentingnya pemimpin inspiratif. Posisinya sebagai inspirator “hanya” memberikan inspirasi rakyat sehingga mampu melaksanakan tugasnya kepemimpinannya sebagai juru penuntun membawa selamat dan produktif pada dahsyadnya kemajuan dan kompetesi masa depan. Selain itu, pemimpin inspiratif sangat dibutuhkan untuk mengembangkan budaya berpikir positif di tengah menguatnya buruk sangka. Menurut budayawan Nirwan A Ar-suka (2004), menuntut masyarakat agar mengembangkan budaya berfikir positif harus diimbangi dengan pemimpin itu sendiri, dengan memberikan teladan hidup yang baik kepada masyarakat sebagai sosok pemimpin. Pemimpin bertipe inspiratif dalam konteks masa depan sangat dibutuhkan, mengingat sekarang rakyat sudah jenuh dengan pemimpin yang lebih banyak aksi otoritarisme sebagai bungkus ketidakmampuan wawasan dan lemahnya kesadaran peradaban.

Bermula dari tanda, sejarah pemikiran dan peradaban tercipta. Lantas, tanda apakah yang diciptakan pada awal abad ini bagi seorang pemimpin? Ada tanda‑tanda bahwa pikiran yang terasah dengan membaca tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Banyak orang yang dipercaya menjadi memimpin berhenti membaca dan mencipta, dan lebih banyak memerintah dengan topeng kekuasaan karena kepintaran kembali dihinakan oleh simbul baru (kroni dan kemewahan sebagai refleksi kerakusan pemimpin).

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kholilul Rohman. 2005. “Dicari, Pemimpin yang Siap Dipimpin”. Harian Kompas.

A., Kholid Harras dan Lilis Sulistianingsih, 1997. Materi Pokok Membaca 1. Jakarta: Universitas Terbuka.

Bunata, Murti. 2004. Buku, Mendongeng dan Minat Membaca. Jakarta: Pustaka Tangga.

Depdiknas. 2003. Pembinaan Minat Baca. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Latif, Yudi. 2005. “Memuliakan Kembali Pikiran”. Harian Kompas.

Nadeak, Wilson. 2005. “Membaca, Menulis dan Tradisi”. Harian Kompas.

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta: Gema Insani.

The Liang Gie. 1995. Cara Belajar Yang Efesien. Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi

 

 

Back To Daftar Isi

MENUMBUHKAN MINAT BACA SISWA

MELALUI KEGIATAN DI PERPUSTAKAAN SEKOLAH

 Oleh: SYAIFUL RIJAL ALINATA, S.Pd

 

 Pendahuluan

Baru-baru ini hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufik Ismail dan Tim dari Majalah Sastra Horison menghasilkan temuan menarik. Hasil penelitian yang dipublikasikan secara luas itu memaparkan tentang wajib baca buku sastra selama 3 dan 4 tahun terakhir di 13 negara. Hasilnya menurut Taufik Ismail , buku sastra yang wajib dibaca di SMA Thailand adalah 5 buku, SMA Singapura 6 buku, SMA Brunei Darussalam 6 buku, SMA Rusia 12 buku, SMA Kanada 13 buku, SMA Swiss 15 buku, SMA Jepang 15 buku, SMA Jerman 22 buku, SMA Prancis 25 buku, SMA Belanda 30 buku, SMA Amerika Serikat 32 buku, dan SMA di Indonesia 0 buku.

Temuan yang menarik di sini adalah wajib baca buku sastra di Indonesia yang hanya 0 buku. Padahal pelajar Indonesia pada jaman penjajahan Belanda yaitu pelajar yang bersekolah di AMS Hindia Belanda (setingkat SMA sekarang) diwajibkan membaca kurang lebih 25 buku sastra. Dengan demikian apa yang terjadi sekarang merupakan sebuah kemunduran yang luar biasa dalam hal menumbuhkan minat baca pada siswa. Padahal minat dan kegemaran membaca di kalangan siswa tidak akan timbul dengan sendirinya, melainkan harus ditumbuh kembangkan sejak usia dini (5-15 tahun) atau usia jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP).

Lantas bagaimana sikap pemerintah Indonesia selama ini menyikapi rendahnya minat baca yang berakibat pada minimnya sumber daya manusia yang berkualitas? Sebenarnya upaya itu pernah dilakukan, walaupun baru sebatas upaya formal yang belum diuji imbasnya. Seperti pencanangan Bulan Mei sebagai Bulan Buku Nasional yang dilakukan pemerintahan Soeharto pada tanggal 2 Mei 1995 di Pontianak, dan bulan September sebagai bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan, yang ditetapkan pada tanggal 14 September 1995 di Jakarta. Itu semua merupakan langkah awal dari upaya menumbuhkan minat baca yang masih perlu ditindak lanjuti dengan upaya-upaya lain yang lebih signifikan. Demikian juga yang dilakukan Presiden Megawati Soekarno Poetri pada tahun 2003, yaitu dengan meresmikan penggunaan RUMAH BACA, yang dikelola oleh Taman Bacaan Indonesia (MANCA) dibeberapa daerah (terrmasuk di Sumenep). Langkah-langkah tersebut patut kita hargai sebagai upaya meningkatkan minat baca, dan menciptakan masyarakat –yang- membaca (reading society) dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun yang perlu kita ingat bahwa penanaman budaya membaca merupakan sebuah proses yang panjang dan tidak bisa diukur hasilnya dalam waktu yang singkat. Karena itu sangat tepat apabila upaya menumbuhkan minat baca dilakukan sejak dini yakni sejak balita dan ditingkatkan intensitasnya ketika mereka sudah masuk masa sekolah.

Kondisi Saat Ini

Pada saat ini, minat dan kegemaran membaca masyarakat kita masih tumbuh pada lapisan tertentu, yaitu kalangan intelektual, tokoh masyarakat, dan para pejabat yang karena kedudukan dan tugasnya dituntut untuk membaca. Bagi sebagian besar masyarakat termasuk peserta didik, kegiatan membaca belum merupakan kebiasaan bahkan mereka masih menganggap bahwa tanpa membaca sekalipun seseorang dapat mencapai sesuatu yang diinginkan. Kurangnya motivasi ini berkaitan dengan masih kurangnya apresiasi dari pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat terhadap orang atau siswa yang mempunyai kegemaran membaca, sehingga bagi mereka yang membaca maupun yang tidak membaca tidak menimbulkan perbedaan yang berarti didalam lingkungannya

Sementara itu, saat ini buku dan kegiatan membaca masih merupakan kegiatan yang “mewah” bagi sebagian masyarakat kita. Di samping itu, materi yang dibaca belum mengarah pada perluasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Komik, koran, majalah popular banyak dibaca, sedangkan buku-buku ilmiah atau yang semi ilmiah masih kurang diminati. Kondisi yang demikian menyebabkan sarana yang ada berupa taman-taman bacaan, dan perpustakaan sekolah belum termanfaatkan secara maksimal. Hal ini ditandai masih kecilnya jumlah anggota dan jumlah pengunjung ke perpustakaan serta rendahnya korelasi antara keberadaan perpustakaan sekolah dengan perilaku membaca anak.

Kondisi lain yang masih memprihatinkan adalah pengelolaan perpustakaan sekolah yang apa adanya dan kurang profesional. Seharusnya perpustakaan sekolah menjadi pusat informasi di sekolah yang memberikan pelayanan optimal kepada siswa. Namun kenyataannya hampir sebagian besar perpustakaan sekolah belum memenuhi harapan. Pengadaan tempat, penyediaan petugas, penyediaan sarana dan prasarana, pengalokasian dana masih terkesan seadanya

Demikian juga adanya anggapan sementara dari beberapa guru bahwa kemampuan membaca siswa hanya dibebankan pada mata pelajaran bahasa dan sastra, merupakan kondisi yang tidak sehat bagi tumbuh dan berkembangnya minat baca di kalangan siswa di sekolah.

Di samping itu tidak dapat kita pungkiri adanya gejala berpindahnya sikap menerima atau menikmati informasi dan hiburan melalui media audio visual, seperti televisi, radio, internet, dan lainnya dari pada menggalinya melalui buku-buku. Hal ini menjadi tantangan tersendiri baik bagi guru maupun lembaga perpustakaan. Ekses kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan kebiasaan manusia yang meninggalkan sikap dan motivasi untuk membaca.

Untuk itulah maka menurut penulis harus ada upaya yang sungguh-sungguh, komprehensip, dan konsisten dalam membudayakan gemar membaca. Dua pihak yang memegang kunci upaya tersebut di sekolah adalah guru dan pustakawan. Karena itulah maka tulisan ini penulis beri judul Menumbuhkan minat baca Siswa melalui kegiatan di perpustakaan sekolah. .

Minat dan Kemampuan Membaca

1. Arti Membaca

Batasan membaca sebagaimana diuraikan oleh Tarigan bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan untuk memperoleh pesan yang disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis.

Ohoiwutan berpendapat bahwa secara umum membaca dilakukan untuk memperoleh informasi terbaru. Sedangkan secara khusus membaca dilakukan untuk kesenangan, misalnya membaca surat kabar, novel, majalah, komik; untuk meningkatkan pengetahuan, seperti membaca buku pelajaran dan majalah ilmiah; dan membaca untuk melakukan suatu pekerjaan, misalnya para mekanik perlu membaca buku-buku petunjuk.

Dengan demikian membaca merupakan suatu pengalaman yang memungkinkan terjadinya peristiwa belajar pada diri seseorang. Penumbuhan dan pemeliharaan minat baca diharapkan dapat menumbuhkan minat belajar seseorang. Sebaliknya, dengan minat belajar yang tinggi tentu kita berharap dapat tumbuh budaya baca.

2. Minat Baca

Minat baca adalah keinginan dan kemauan kuat untuk selalu membaca setiap ada kesempatan atau selalu mencari kesempatan untuk membaca.

Ciri orang yang mempunyai minat baca tinggi diantaranya (selalu) memanfaatkan setiap waktu luang untuk membaca, suka mencari waktu atau kesempatan untuk membaca, senantiasa berkeinginan untuk membaca (semua jenis bacaan), memanfaatkan membaca sebagai kebutuhan, dan melakukan kegiatan membaca dengan senang hati. Pemeliharaan minat baca perlu dilakukan secara terus menerus dengan selalu berupaya meningkatkan keterampilan membaca secara memadai. Untuk itulah perlu dilakukan upaya yang mampu mendorong motivasi siswa untuk membaca.

Menurut Suyono faktor-faktor yang mampu mendorong minat baca adalah :

- Rasa ingin tahu yang tinggi atas fakta, teori, prinsip, pengetahuan, informasi dan yang lain.

- Keadaan lingkungan fisik yang memadai, dalam arti tersedianya bahan bacaan yang menarik dan berkualitas.

- Keadaan lingkungan social yang kondusif, dalam arti adanya iklim yang

selalu memanfaatkan waktu luang untuk membaca.

- Rasa haus informasi, selalu membutuhkan informasi, terutama yang actual.

- Memiliki prinsip hidup bahwa membaca adalah kebutuhan rohani.

Dalam kasus yang penulis angkat ini factor terpenting dalam mendorong minat baca siswa adalah factor guru. Guru harus mampu menjadi manajer sekaligus fasilitator yang dapat memberikan contoh dan tauladan serta memberi kepuasan pada siswa dan dapat mengkondisikan suasana sehingga motivasi membaca siswa tumbuh dengan sendirinya. Untuk itu diperlukan kiat untuk menumbuhkan motivasi tersebut diantaranya:

Menurut Gage (dalam Dwi Sugianto dan Sjamsuridjal, 2001), minat baca dibagi menjadi dua, yaitu minat baca spontan dan minat baca terpola. Minat baca spontan adalah minat membaca yang tumbuh dari motivasi personil pembacaatau siswa. Sedangkan minat baca terpola berlangsung dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Dalam memotivasi minat baca siswa , baik terpola maupun spontan, guru perlu memperhatikan factor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Dowson dan Bamman (dalam Dwi Sugianto dan Sjamsuridjal, 2001),factor yang mempengaruhi minat baca antara lain:

tersedianya buku bacaan yang memadai;

Dari uraian diatas maka semakin jelaslah bahwa keberadaan guru dan eksistensi perpustakaan memiliki nilai yang urgen sekali dalam menumbuhkan minat baca siswa. Oleh karena itu sudah saatnya guru mulai memposisikan diri sebagai fasilitator dan motivator bagi siswa dalam rangka menumbuh kembangkan budaya baca, disamping peranan pustakawan yang diharapkan dapat menjadi partner guru menjalankan fungsi di atas.

Perpustakaan Sekolah Sebagai Sarana Kegiatan Belajar Mengajar

Menurut orang bijak , perpustakaan itu adalah jendela dunia, membaca adalah kuncinya. Dengan memanfaatkan perpustakaan akan membuka wawasan seseorang secara global. Menurut Masduki S, secara umum perpustakaan memiliki fungsi mengembangkan ilmu pengetahuan dari masa ke masa (the preservation knowledge). Sedangkan secara khusus perpustakaan memiliki beberapa fungsi sesuai dengan sasaran yang menjadi obyeknya, yaitu:

  1. Fungsi Edukatif, yaitu memberikan pendidikan kepada masyarakat pembacanya melalui koleksi-koleksinya.
  2. Fungsi informatife, yaitu menyampaikan informasi kepada masyarakat pembaca melalui koleksi yang dibacanya.
  3. Fungsi Dokumentatif, yaitu menjadi tempat menyimpan serta melestarikan semua hasil penerbitan agar dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat pembacanya.
  4. Fungsi Rekreatif, yakni memberikan hiburan batin kepada masyarakat pembacanya melalui bahan bacaan, terutama buku-buku jenis fiksi.
  5. Fungsi Riset, yakni perpustakaan menjadi lembaga riset guna mengembangkan fungsi pelayanannya.

Tentunya fungsi-fungsi di atas tidak akan maksimal apabila membaca yang menjadi “kunci” nya tidak kita gunakan. Dan untuk memulai hal tersebut kita biasakan sejak proses pendidikan di sekolah. Untuk itu menjadikan perpustakaan sekolah sebagai sarana kegiatan belajar mengajar menjadi sangat penting.

Perpustakaan sekolah adalah jantung sekolah, detak kehidupan sekolah ditentukan dengan adanya perpustakaan. Perpustakaan sekolah merupakan bagian integral dari suatu program sekolah. Perpustakaan sekolah bersama-sama unsur -unsur pendidikan lainnya turut menentukan keberhasilan program pendidikan dalam proses belajar mengajar. Perpustakaan seharusnya menjadi pendukung kegiatan belajar –mengajar. Perpustakaan seharusnya tidak terpisah dari proses pembelajaran di sekolah, misalnya dengan memberikan penugasan pada siswa untuk mencari informasi di perpustakaan. Kunjungan siswa ke perpustakaan juga dijadikan kegiatan ekstrakurikuler. Dan kunjungan sebaiknya tidak hanya dilakukan pada jam istirahat saja.

Di era tekhnologi multimedia saat ini, perpustakaan harus menyesuaikan diri dengan era tersebut. Artinya, perpustakaan tidak lagi dibatasi oleh dinding-dinding. Koleksi dan layanan perpustakaan perlu lebih dikembangkan dengan multimedia dan internet. Perpustakaan juga harus aktif “menjemput bola” dan tidak lagi menunggu. Perpustakaan akan semakin berkembang bila mampu mengikuti kebutuhan penggunanya (users).

Jika sarana dan prasarana telah tersedia, langkah selanjutnya ialah berusaha menarik minat siswa untuk datang ke perpustakaan sebagai upaya menumbuhkan minat baca siswa. Untuk itu banyak hal yang dapat dilakukan, diantaranya:

1. Meggunakan Perpustakaan sebagai bagian dari kegiatan belajar

mengajar

Guru sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar mengajar di kelas sesekali hendaknya mengadakan kerjasama dengan pengelola perpustakaan. Guru mata pelajaran dalam waktu-waktu tertentu menggunakan perpustakaan sebagai salah satu sumber belajar dan menjadikan bagian kegiatan belajar mengajar. Artinya pada jam belajar, guru dapat membawa siswanya ke perpustakaan untuk mencari informasi langsung dari buku-buku ataupun media audio visual yang tersedia di perpustakaan.

Tahap-tahap yang bisa ditempuh oleh guru dalam hal ini adalah:

a. Mengidentifikasi pokok bahasan dan sub pokok bahasan tiap bidang studi dalam GBPP (dalam Kurikulum 2004 mengidentifikasi Kompetisi Dasar dan Indikator). Indentifikasi ini berguna untuk menentukan materi yang kegiatan belajar mengajarnya dapat diintegrasikan dengan penyelenggaraan perpustakaan sekolah.

b. Mengidentifikasi koleksi pustaka yang menunjang proses pembelajaran materi yang telah ditentukan . Ini berguna untuk mengetahui seberapa banyak koleksi atau referensi yang bisa digunakan sesuai dengan jumlah siswa.

c. Menyusun jadwal junjungan, uraian kegiatan, dan deskripsi tugas bagi siswa (baik individu maupun kelompok) yang akan dilakukan di perpustakaan bersama-sama antara guru bidang studi dengan pustakawan.

d. Mengkoordinasikan jadwal yang telah dibuat dengan urusan kurikulum atau kalau dipandang perlu dengan kepala sekolah. Ini dilakukan untuk menghindari benturan jadwal dengan kegiatan lain di sekolah.

e. Melaksanakan kegiatan sesuai jadwal yang telah dibuat. Yakni membawa siswa ke ruang perpustakaan untuk melaksanakan aktivitas belajar mengajar di sana.

f. Membimbing siswa tentang teknik membaca yang efektif dan efisien.

Dengan tahap-tahap kegiatan tersebut diharapkan siswa menuai dua manfaat sekaligus, yaitu dapat menyerap materi pelajaran yang disampaikan guru, dan juga membiasakan diri membaca buku sumber serta terbiasa berkunjung ke perpustakaan sekolah. Dalam hal ini dituntut guru yang sedikit harus berjerih payah membimbing siswa lebih dari yang biasa dilakukannya.

2. Kegiatan awal tahun pelajaran.

Pada setiap awal tahun pelajaran hendaknya diadakan program Pelayanan Bimbingan Pembaca bagi siswa kelas 1 (siswa baru). Program ini diadakan pada masa orientasi siswa yang bertujuan memperkenalkan perpustakaan; apa manfaat dan bagaimana cara menggunakannya. Kegiatan ini dilakukan langsung di perpustakaan. Melalui program ini diharapkan tumbuh kesadaran siswa bahwa perpustakaan itu bukan hanya tempat dia pinjam buku, tetapi juga tempat dia meminta bantuan para pustakawan untuk memberikan informasi lain yang mereka perlukan.

3. Mengadakan Kegiatan Lomba

Tidak kalah pentingnya untuk menarik minat baca siswa dan minat siswa berkunjung ke perpustakaan, pustakawan bekerjasama dengan guru-guru mengadakan kegiatan lomba-lomba yang berkaitan dengan membaca, seperti:

Kegiatan ini dapat dilakukan secara periodik, seperti peringatan hari-hari besar, denga menggunakan referensi koleksi perpustakaan.

Kegiatan ini dilakukan dengan cara guru atau pustakawan menetapkan informasi faktual dan aktual. Kemudian siswa diberi kesempatan mencari informasi tersebut di perpustakaan dalam format lomba.

Surat kabar yang sudah lama bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ini. Dengan sendirinya siswa akan membaca koran tersebut guna mencari

Materi yang akan dikliping. Tentunya tema materi kliping sudah ditetapkan lebih dahulu.

Semua kegiatan tersebut diprogramkan dulu, direncakan dengan pemberian hadiah, piagam, dan sebagainya sebagai daya tarik. Tentunya masih banyak jenis lomba yang dapat dilakukan dalam rangka membiasakan siswa berkunjung ke perpustakaan. Yang terpenting bukanlah jenis lombanya tetapi kualitas lomba tersebut sampai sejauh mana pengaruhn ya terhadap pembudayaan minat baca siswa.

Penutup

Aktivitas membaca masih menjadi kegiatan “langka” bagi masyarakat Indonesia termasuk peserta didik. Padahal melalui membaca akan dihasilkan masyarakat belajar, dan dari masyarakat yang senantiasa belajar akan memunculkan kreatifitas-kreatifitas positif dan konstruktif. Untuk itu tidak cukup kiranya usaha menumbuhkan minat baca dilakukan hanya dengan penetapan hari/bulan tertentu tanpa disertai upaya penciptaan terobosan-terobosan baru dalam hal tersebut. Perpustakaan sekolah dengan peserta didik sebagai sasaran target dapat dijadikan ujung tombak penanaman kebiasaan membaca (reading habit). Mencapai fungsi perpustakaan sekolah yang ideal tentunya sulit dilakukan di tengah keterbatasan institusi pendidikan dewasa ini. Tetapi walau tidak bisa demikian bukan berarti tidak bisa berbuat sama sekali. Sekecil apapun usaha kita menumbuhkan minat baca, akan nampak hasilnya apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, konsisten dan berkelanjutan.

Demikian juga guru, sudah waktunya meninggalkan pola-pola lama dalam proses belajar mengajar. Jangan lagi ada pikiran dalam benak guru, bahwa ia merupakan sumber informasi satu-satunya. Bergaya sebagai sosok yang paling tahu dan paling mengerti sudah harus ditanggalkan dalam hubungan guru dengan siswa. Sebaliknya guru harus mendorong siswa untuk berusaha menemukan sendiri pengetahuan yang dibutuhkannya. Metode-metode mengajar konvensional harus secepatnya diganti dengan model pembelajaran baru yang memberi kesempatan siswa berkreasi seluas-luasnya. Di sini guru memposisikan diri sebagai fasilitator bagi peserta didiknya. Siswa harus “dipaksa” untuk selalu membaca buku dalam setiap penyelesaian suatu materi pelajaran.

Perpustakaan sekolah jangan lagi dipandang sebelah mata dan hanya menjadi unsur pelengkap di tengah-tengah lingkungan sekolah. Harus ada program yang terencana dan menjadi agenda kegiatan perpustakaan sekolah. Tempat kedua setelah ruang kelas yang sering di datangi siswa seharusnya adalah perpustakaan, bukan kantin sekolah yang selama ini mejadi tempat terfavorit dalam lingkaran pagar sekolah. Guru harus mendorong siswanya untuk selalu mengunjungi perpustakaan, sedangkan petugas yang ditempatkan di perpustakaan seharusnya adalah tenaga pengelola yang profesional dan berkonsentrasi penuh di perpustakaan, sehingga mampu menjadi “pelayan” siswa kapanpun dibutuhkan. Dan pada akhirnya output sekolah yang dihasilkan adalah siswa yang gemar membaca dan memberi pengaruh pada keluarga dan lingkungan sekitarnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

- Dwi Sugianto dan Sjamsurijal, “Asah Kemampuan Membaca: Jalan Menuju Perguruan Tinggi”, dalam Buletin Pusat Perbukuan, Vol. 5 tahun 2001

- Henry Guntur Tarigan, Membaca: sebagai suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1990.

- Masduki, S, “Perpustakaan Sekolah sebagai Sumber Pengembangan Minat dan Kegemaran Membaca Siswa”, dalam Laporan Lokakarya Pengembangan Minat dan Kegemaran Membaca Siswa, Jakarta: Depdikbud, 1997

- M. Paryoko, “Bila Perpustakaan Menunggu Buku Datang”, dalam Buletin Pusat Perbukuan, Vol. 9 tahun 2003.

- Singgih Prayoga, “Minat Baca di Negeri Jiran”, dalam Buletin Pusat Perbukuan, vol. 4 tahun 2000

- Soerjadi, Pembinaan Minat Membaca, materi Pelatihan Pengelola Perpustakaan SLTP se-Jawa Timur, Surabaya: Dinas Dikbud Prov., 2002

- Suyono, “Minat Baca, Belajar, dan Kreativitas”, dalam Buletin Pusat Perbukuan, Vol. 5 tahun 2001.

 

Syaiful Rijal Alinata, S.Pd lahir di Sumenep, 14 Agustus 1971. Menamatkan S1 Pend. Sejarah tahun 1994 di FKIP Univ. Jember. Aktif sebagai pengurus majalah Pijar Pendidikan (FKIP-Univ. Jember) tahun 1990-1992. Sekarang sebagai tenaga edukasi di SMP Negeri I Giligenting Sumenep.

 

Back To Daftar Isi

Guru Sebagai Manajer Dalam Membangun Karakter Minat Baca Anak

Drs. Pudji Andoko A.W., M.Pd

 

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BACA

Dalam melakukan kegiatan, seseorang memerlukan suatu dorongan semangat di dalam melakukannya. Dorongan semangat ini berfungsi sebagai pemicu aktivitas seseorang, sehingga dalam melakukan kegiatan itu lebih bersungguh –sungguh dan bermakna buat dirinya. Dorongan semangat inilah yang disebut dengan motivasi.

Demikian juga dalam melakukan aktivitas membaca, seseorang membutuhkan motivasi untuk melakukannya. Motivasi ini bisa bersifat intrinsik dan juga bisa bersifat ekstrinsik. Bersifat intrinsik apabila motivasi itu bersumber dari kemauan sendiri, yang merupakan perwujudan dari kebutuhan hidup mereka. Menurut Clifford T. Morgan secara umum anak memiliki 4 macam kebutuhan :

1. Kebutuhan untuk berbuat sesuatu demi kegiatan itu sendiri.

2. Kebutuhan untuk menyenangkan hati orang lain.

3. Kebutuhan untuk berprestasi atau mencapai hasil.

4.Kebutuhanuntukmengatasikesulitan. Dengan melihat kebutuhan dasar anak ini, kita dapat menentukan langkah apa yang bisa kita ambil agar anak merasa butuh untuk membaca, sehingga dengan kesadarannya sendiri mereka akan melakukannya. Apabila kita mengharapkan adanya peningkatan minat baca anak, maka kita harus bisa menciptakan suatu metode atau strategi untuk memotivasi minat baca anak, berdasarkan kebutuhan-kebutuhannya.

Sedangkan motivasi ekstrinsiknya bersumber dari dorongan faktor lain di luar dirinya, misalnya metode mengajar guru. Kemampuan guru untuk menciptakan metode mengajar yang bervariasi , tidak menjenuhkan, dan memberikan suasana menyenangkan bagi siswa adalah sesuatu yang sangat penting untuk merangsang minat baca anak terhadap materi pelajaran yang sedang dihadapi. Bagaimanapun juga apabila siswa merasa jenuh terhadap metode pembelajaran yang disajikan guru, maka siswa tersebut juga merasa jenuh untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari materi tersebut. Tetapi apabila siswa merasa senang terhadap metode pembelajaran yang disajikan guru, mereka akan cenderung berusaha dengan sungguh-sungguh mempelajari materi tersebut. Kecenderungan-kecenderungan ini pada akhirnya akan sangat mempengaruhi minat baca siswa, paling tidak tentang bidang studi tersebut.

Faktor ekstrinsik lain yang juga berpengaruh terhadap minat baca siswa adalah tersedianya fasilitas sumber bacaan yang dibutuhkan. Bagaimanapun kita memberikan motivasi kepada siswa untuk membeca , dengan metode apapun guru melakukan proses pembelajaran, apabila tidak ada sumber bacaan maka siswa juga tidak akan membaca. Keadaan ini akan mematahkan usaha yang sudah dilakukan, dan juga mematahkan semangat siswa yang mungkin sudah termotivasi untuk membaca. Maka di suatu sekolah idealnya harus tersedia berbagai sumber bacaan, baik sumber bacaan tentang materi pelajaran maupun bahan-bahan bacaan lain yang dibutuhkan siswa. Sehingga peran perpustakaan sekolah menjadi sangat penting dan mutlak diperlukan.

Faktor keteladanan juga berpengaruh terhadap minat baca anak. Keteladanan ini bisa datang dari guru, orang tua, maupun tokoh-tokoh panutan siswa. Keteladanan ini berfungsi sebagai contoh siswa dalam melakukan kegiatan membaca.

Kemudian kesempatan siswa untuk membaca juga berpengaruh terhadap minat baca. Sebesar apapun motivasi siswa untuk membaca kalau kita sebagai guru, atau orang tua tidak memberikan kesempatan untuk membaca, maka proses membaca juga tidak berlangsung. Justru kondisi ini akan menciptakan rasa frustasi bagi anak dalam melakukan kegiatan membaca. Maka dari itu kita hendaknya tidak terlalu banyak menjejali anak dengan tugas–tugas yang tidak bersangkut paut dengan belajar, tetapi menambah kesempatan anak untuk membaca.

Minat Baca Sebagai Suatu Karakter

Minat baca yang tinggi pada anak adalah suatu keadaan yang dapat memberikan harapan besar terhadap prestasi dan kesuksesan seorang anak. Maka dari itu diharapkan minat baca yang muncul pada diri anak, tidak hanya terjadi sesaat, yaitu membaca hanya pada waktu dia mengerjakan tugas atau menghadapi kesulitan belajar saat itu, membaca hanya untuk menyenangkan hati orang lain, membaca karena terpaksa, atau ketertarikan karena adanya kabar / berita yang sedang ngetren pada saat itu saja, tetapi diharapkan minat baca ini menjadi kebiasaan karena kebutuhannya untuk berprestasi dalam hidupnya, sehingga akan membentuk kepribadiannya atau dapat dikatakan menjadi karakter anak. Sehingga minat baca ini akan terus berlangsung sampai kapanpun untuk mengisi pengalaman hidupnya.

Karakter atau watak seseorang dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah lingkungan dan pengalaman hidupnya. Salah satu pengalaman hidup yang memberikan andil besar dalam pembangunan karakter adalah pengalaman pendidikan. Dengan demikian lingkungan dan pengalaman seorang anak pada waktu sekolah akan besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter itu. Tidak kita ragukan bahwa guru memegang peran yang besar dalam memberikan pengalaman pendidikan anak, sehingga pembangunan karakter siswa untuk memiliki minat baca yang tinggi memberikan penekanan yang besar pada peran guru.

Peran Guru Sebagai Pembangun Karakter Minat Baca Anak

Dalam hal membangkitkan minat baca, guru memiliki peran yang sangat penting, karena guru berkesempatan mengelola sejumlah siswa, yang pada saat itu sedang melakukan penggalian pengetahuan, yang sangat erat hubungannya dengan proses membaca. Dengan demikian peran guru sangatlah strategis dalam membangkitkan minat baca anak. Tetapi harus disadari bahwa untuk membangun minat baca anak ini menuntut kemampuan guru untuk mengelola proses pembelajaran. Karena apabila guru tidak memiliki kemampuan mengelola proses pembelajaran dengan baik, peran yang strategis ini menjadi tidak banyak berarti dalam membangkitkan semangat membaca anak. Kesempatan itu akan lewat begitu saja, dengan hasil akhir sejumlah lulusan yang merasa asing terhadap buku, maupun media cetak lainnya sebagai sumber bacaan, dan sumber pengetahuan. Keadaan demikian ini memang sangat ironis sekali.. Tetapi kenyataan seperti ini memang suatu pemandangan yang biasa pada saat ini . Entah siapa yang harus bertanggung jawab lebih dahulu, tetapi yang jelas banyak lulusan kita yang masih merasa asing terhadap buku maupun media cetak lainnya, dalam menggali pengetahuan. Apapun dan bagaimanapun kenyataannya seorang guru harus mulai mengoreksi diri dan mulai memikirkan strategi yang harus dilakukan agar anak didik , baik pada waktu masih sekolah ataupun setelah lulus nanti tetap diharapkan meiliki minat baca yang tinggi. Sehingga anak didik kita nanti akan dapat mencari sendiri sumber pengetahuan yang dia perlukan dalam hidup. Dalam arti kita harus bisa menanamkan semangat learning how to lern, belajar bagaimana belajar pada diri anak. Sehingga akan muncul semangat long live education ( belajar seumur hidup ).

Peran guru untuk membangkitkan minat baca siswa ini sangat besar antara lain :

1. Memotivasi siswa.

Memotivasi siswa untuk membaca bukanlah hal yang mudah, meskipun persoalan ini tetap bisa dicarikan solusinya. Semuanya tergantung pada strategi yang diterapkan oleh guru dalam memberikan rangsangan terhadap siswa untuk membaca dalam proses pembelajaran. Hal ini menuntut kemampuan berfikir dan kemauan guru untuk melakukannya. Hal ini bisa dilakukan guru, baik pada waktu proses pembelajaran berlangsung, yaitu pada sela-sela pembelajarannya, bisa pada waktu istirahat dan mengobrol dengan siswa, atau kesempatan-kesempatan tertentu yang diciptakan untuk memberikan motivasi membaca. Bentuk memotivasinya bisa dengan memberikan contoh-contoh keberhasilan tokoh-tokoh lewat membaca, memberikan gambaran fungsi membaca, dan bentuk-bentuk lain yang menyenagkan siswa.

2. Menciptakan metode pembelajaran yang merangsang minat baca.

Apabila seorang guru tidak mampu menciptakan suatu metode pembelajaran yang tepat untuk memberikan rangsangan kepada siswa dalam membaca, maka peran guru sebagai menejer dalam membentuk karakter minat baca anak menjadi tidak berarti.

3. Memberikan keteladanan.

Faktor keteladanan memang merupakan salah satu faktor pendorong minat baca anak. Guru sebagai salah satu figur panutan bagi siswa mestinya dapat memberikan keteladanan dalam membaca. Sehingga secara tidak langsung siswa akan melihat apa yang dilakukan guru tersebut, dan secara diam-diam mereka akan meniru figur panutannya tersebut. Yang ironis adalah guru justru lebih malas membaca dari pada siswanya. Sehingga yang terjadi guru memiliki pengetahuian yang lemah, dan tidak memiliki pengetahuan sesuai dengan kondisi zaman yang berkembang. Akhirnya siswa menganggap guru tersebut bodoh, ataupun sebutan yang lain , yang membuat siswa tidak lagi percaya pada kemampuan guru. Sehingga minat baca siswapun menjadi sangat lemah karena figur yang diteladani siswa juga tidak pernah membaca.

Bagaimana Guru Dapat Membangun Karakter Minat Baca

Kenyataan yang kita alami saat ini adalah minat baca siswa masih sangat rendah. Rendahnya minat baca ini memang banyak faktor yang ikut mempengaruhinya, yang satu dengan lainnya saling terkait dan saling mendukung. Kalau kita tinjau dari proses pembelajaran , memang masih banyak yang harus dibenahi oleh guru, berkaitan dengan pembentukan karakter minat baca siswa. Menurut Suharjono ( 2000 ), kenyataan pendidikan / pembelajaran kita saat ini masih menunjukkan gambaran sebagai berikut :

1. Proses pendidikan / pembelajaran didominasi dengan penyampaian informasi bukan pemrosesan informasi.

2. Proses pendidikan / pembelajaran masih berpusat pada kegiatan mendengarkan dan menghafalkan, bukan interpretasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dan upaya membangun pengetahuan.

3. Proses pendidikan / pembelajaran masih didominasi oleh guru yang otoriter, bukan memberikan suasana yang menyenangkan, memberi peluang siswa berkreasi, memberikan kesempatan untuk mengembangkan dan menunjukkan kemampuannya yang beragam sehingga tercipta suasana belajar yang kreatif. Kalau suasana ini yang terjadi, maka memang sulit bagi kita untuk membentuk karakter minat baca pada siswa.

Pembentukan karakter, berarti berhubungan erat dengan perubahan sikap atau afektif siswa. Merubahan sikap atau afektif siswa ini bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi membutuhkan kemampuan guru untuk dapat mengelola proses pembelajaran secara teliti dengan melalui langkah –langkah yang direncanakan secara baik. Menurut Suharjono (2000) perubahan afektif tampaknya memang kurang terperhatikan dalam praktik pembelajaran. Hal ini mungkin didasarkan pada pemikiran bahwa :

1. Guru mendapat kesulitan dalam merancang pembelajaran afektif, kususnya dalam merumuskan tujuan pembelajarannya.

2. Adanya kesulitan dalam memilih dan menggunakan model pembelajaran yang cocok guna dapat mengubah sesuatu dalam diri siswa yang berhubungan dengan perasaannya, emosinya, sistem nilai dan sikap.

3. Tidak mudah untuk menilai ketercapaian afektif.

Alasan-alasan ini mempengaruhi pola pikir guru yang hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif, dan mungkin sedikit psikomotorik. Giliran berikutnya guru banyak bertumpu pada hasil belajar dan sering mengabaikan proses belajar. Kenyatan-kenyataan inilah yang sebenarnya sering menghambat pembentukan karakter minat baca siswa, karena proses pembelajaran tersebut menghambat rasa ingin tahu siswa, kreatifitas siswa, potensi siswa, dan rasa senang terhadap pengetahuan yang dipelajari. Pada prinsipnya bahwa merangsang minat baca siswa banyak bertumpu pada proses belajar, bukan pada hasil belajar. Sehingga guru harus kembali mengoptimalkan metode pembelajaran yang tepat, yang berorientasi pada proses belajar, bukan semata-mata melihat hasil belajar yang cenderung melemahkan metode pembelajaran.

Dalam Membangun minat baca siswa bukan berarti ada pembahasan khusus untuk membimbing siswa tentang minat baca dalam proses pembelajaran, sehigga harus mencantumkan tujuan pembelajaran, materi pelajaran, sampai evaluasi tentang minat baca. Tetapi membangun minat baca siswa ini bisa dilakukan oleh guru, dalam bentuk latihan dan pembiasaan siswa dalam memecahkan masalah dan menjawab keingintahuannya, pada suatu proses pembelajaran. Sehingga strategi ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan latihan dan pembiasaan siswa untuk membaca kedalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung.

Contoh-contoh pengintegrasian latihan dan pembiasaan membaca ke dalam proses pembelajaran.

Metode pembelajaran

Bentuk pembiasaan membaca

Tujuan

Metode ceramah dan tanya jawab

 

 

 

 

* siswa diberi tugas rumah membaca dan merangkum materi yang akan dibahas.

 

* siswa bisa mengikuti materi pelajaran yang disampaikan dengan optimal

 

 

Metode diskusi

Siswa membaca berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan materi yang dibahas baik secara individu maupun secara kelompok.

Siswa memiliki sejumlah pengetahuan untuk melakukan diskusi tentang materi yang dibahas.

Metode pengamatan

 

 

Siswa membaca petunjuk kerja.

Siswa membaca berbagai sumber bacaan tentang materi yang akan diamati

Siswa dapat mengadakan pengamatan dengan cermat.

 

 

Metode pembelajaran dengan kuis.

 

Siswa membaca berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan materi pelajaran.

 

Siswa dapat menjawab kuis yang diberikan guru

 

Metode-metode lainnya.

 

 

 

Dengan contoh-contoh ini bisa dilihat bahwa pembiasaan membaca siswa bisa diintegrasikan pada proses pembelajaran. Apabila metode-metode yang diberikan ini bervariasi dan dapat menyenangkan siswa maka pembiasaan membaca ini akan terus terjadi, dan bukan tidak mungkin kalau hal demikian ini dapat meningkatkan minat baca anak. Tetapi apabila metode yang diberikan ini monoton, dan cenderung menjenuhkan siswa, juga bukan tidak mungkin kalau justru meruntuhkan minat baca anak, atau bahkan muncul anti pati pada bidang studi tersebut (siswa malas belajar / membaca buku yang berkaitan dengan bidang studi tersebut ).

 Apakah Semua Guru Secara Otomatis Dapat Membangun Karakter Minat Baca

Minat baca muncul antara lain melalui pembiasaan dan latihan yang terus menerus dilakukan, melalui metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Dengan pembiasaan dan latihan yang terus menerus ini siswa akan memiliki sejumlah pengalaman tentang membaca pada waktu bersekolah. Pengalaman-pengalaman ini akan berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter anak tentang minat baca. Yang menjadi pertanyaan apakah semua anak mendapatkan latihan dan pembiasaan membaca yang baik dari setiap guru ? Pertanyaan ini mestinya bisa dijawab oleh semua guru, yang memang sudah semestinya memiliki jawaban melalui proses pembelajaran yang dilakukan.

Kenyataan yang dapat digunakan untuk menganalisis pertanyaan ini , apakah seorang guru sudah menerapkan metode pembelajaran yang dapat memberikan daya tarik siswa sehingga siswa akan memiliki minat baca terhadap bidang studi tersebut. Karena menurut I Nyoman S. Degeng daya tarik bidang studi dalam penyampaiannya akan banyak tergantung pada kualitas pembelajarannya. Pada giliran berikutnya kualitas pembelajaran ini akan menentukan apakah seorang anak ingin terus belajar pada bidang studi tersebut.

Adalah tugas guru untuk menunjukkan daya tarik suatu bidang studi kepada siswa melalui metode pembelajaran yang dilakukan. Suatu bidang studi akan kehilangan daya tariknya karena kualitas pembelajarannya yang rendah. Kualitas pembelajaran selalu terkait dengan penggunaan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran, di bawah kondisi tertentu. Ini berarti bahwa untuk mencapai kualitas pembelajaran yang tinggi, suatu pokok bahasan harus diorganisasi dengan strategi pengorganisasian yang tepat, dan selanjutnya disampaikan kepada siswa dengan strategi penyampaian yang tepat pula. Sebagai hasil pembelajaran, kecenderungan siswa untuk tetap belajar, adalah tanggung guru melalui proses pembelajarannya, bukan tanggung jawab bidang studi.

Menurut I Nyoman S. Degeng Variabel penting yang dapat digunakan sebagai indikator daya tarik pembelajaran adalah penghargaan dan keinginan lebih ( lebih banyak atau lebih lama ) yang diperlihatkan oleh siswa. Penghargaan dan keinginan untuk lebih banyak mempelajari isi suatu bidang studi, merupakan hasil pembelajaran yang bukan hanya disebabkan oleh daya tarik suatu bidang studi, tetapi terutama disebabkan oleh kualitas pembelajaran yang mampu menciptakan penghargaan dan keinginan itu. Oleh karena itu maka titik awal pengukuran daya tarik, sebagai hasil pembelajaran, haruslah diletakkan pada variabel metode pembelajaran yang meliputi strategi pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan pembelajaran.

Apabila guru sudah menerapkan metode pembelajaran secara optimnal dan dapat memberikan daya tarik kepada siswa untuk terus belajar, berarti guru tersebut telah memberikan peluang yang besar kepada siswa untuk mengadakan latihan dan pembiasaan untuk membaca. Sehingga guru tersebut memiliki andil besar dalam menanamkan karakter minat baca pada anak.

Tetapi sebaliknya, apabila seorang guru meiliki minat baca yang mungkin lebih rendah kepada siswanya, kemudian tidak mampu menerapkan metode pembelajaran yang optimal , akan dapat mengakibatkan jatuhnya kemauan anak untuk terus belajar, meskipun sebenarnya bidang studi tersebut disukai oleh siswa. Bahkan kondisi ini akan mengakibatkan perasaan tidak puas siswa terhadap suatu bidang studi. Sehingga siswa akhirnya meiliki persepsi yang negatif terhadap guru dan bidang studi yang diajarkannya. Apabila kenyataan ini yang ada , maka dapat dikatakan bahwa guru tersebut telah menghancurkan minat baca siswa.

Dengan demikian tidak semua guru sekaligus sebagai pembangun karakter minat baca anak. Kenyataan ini yang harus menjadi renungan bersama para insan pendidikan. Sampai berapa banyakkah guru-guru kita yang dapat membangun karakter minat baca anak, dan seberapa bayak guru-guru kita yang telah menghancurkan minat baca anak. Karena bagaimanapun juga yang kita didik adalah anak bangsa, yang pada gilirannya akan menggantikan kita, menggantikan para pemimpin, yang akan menentukan kuat dan lemahnya negara kita tercinta.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Agar Guru Dapat Menjadi Manajer Dlam Meningkatkan Minat Baca Anak

Apabila kita mau jujur sebenarnya masih banyak guru-guru kita yang masih belum berkompeten untuk melakukan pembelajaran. Menurut penulis tidak kompeten ini dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Tidak memiliki ijazah yang kompeten, baik antara ijazah dengan jenis bidang studi yang diajarkan, maupun ijazah dengan tingkatan sekolah yang diajarkan.Kondisi ini mengakibatkan guru yang bersangkutan tidak memiliki cukup Ilmu dalam melakukan proses pembelajaran.

2. Memiliki ijazah yang kompeten tetapi tidak memiliki cukup ilmu untuk melakukan proses pembelajaran. Kondisi ini bisa terjadi karena guru tersebut kurang mampu belajar dari pengalaman, sehingga sulit untuk mengadakan penyesuaian terhadap perkembangan proses pembelajaran.

3. Memiliki ijazah yang konpeten tetapi malas merancang proses pembelajaran. Kondisi ini akan mengakibatkan guru tidak mampu melakukan proses Pembelajaran dengan baik.

Kenyataan-kenyataan ini akan bisa mengakibatkan proses pembelajaran tidak terjadi secara optimal. Sehingga daya tarik bidang studi sangat lemahdan menjenuhkan. Kemudian pada akhirnya guru yang demikian akan sulit membangun minat baca anak, bahkan justru dapat berakibat menghancurkan minat baca anak.

Kemudian langkah apa yang mestinya diambil agar kesenjangan ini dapat diatasi ? Langkah yang dapat diambil sebenarnya hanya sederhana yaitu meningkatkan kompetensi guru, dan memotivasi guru agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. Langkah ini mudah diucapkan tapi sulit untuk diimplementasikan.

Langkah yang mungkin bisa diambil untuk mkeningkatkan kompetensi guru antara lain :

1. Memberi kesempatan kepada guru yang ijazahnya tidak kompeten untuk menempuh pendidkian sehingga menjadi kompeten.

2. Memberikan penataran-penataran dan pelatihan-pelatihan terhadap guru, agar dapat memberikan tambahan pengetahuan guru dalam melakukan proses pembelajaran.

3. Langkah selanjutnya adalah merekrut tenaga guru melalui proses seleksi yang sungguh-sungguh sehingga mendapatkan guru-guru yang kompeten.

Kemudian langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan motivasi guru dalam melakukan proses pembelajaran antara lain :

1. Kepala sekolah melakukan pembinaan terhadap guru dalam merancang pembelajaran, kemudian juga mau mengadakan kunjungan kelas.

2. Meningkatkan kesejahteraan guru.

3. Adanya jenjang karir yang jelas bagi guru berdasarkan prestasinya.

SIMPULAN

1. Guru bukan satu-satunya faktor yang menentukan karakter minat baca anak,

tetapi guru memiliki peranan yang penting dalam membangun karakter minat

baca anak.

2. Guru dapat membangun karakter minat baca anak apabila mampu

menggunakan metode pembelajaran yang tepat.

3. Karakter minat baca anak dapat dibangun antara lain melalui pembiasaan dan

latihan yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran.

3. Masih banyak guru yang belum menunjukkan fungsinya sebagai menejer

dalam membangun karakter minat baca anak.

 

Kepustakaan :

Ahmad Rohadi, Abu Ahmadi; 1991, Pengelolaan Pengajaran. Jakarta. Rineka Cipta.

Bobbi Deporter, Mike Hernachi; 2000 , Quantum Learning, Membiasakan Belajar . Nyaman dan Menyenangkan. Bandung. Kaifa.

Gordon Dryden, Jeannette Vos ; 2000, Revolusi Cara Belajar, Kaifa, Bandung..

I Nyoman Sudana Degeng ; 2000, Materi Pelatihan Pekerti, Universitas Negeri Malang. .

Mohammad Nur ; 1998, Pemotivasian Siswa Untuk Belajar, Surabaya, IKIP Surabaya.

Pudji Andoko Adi Wasono : 2002, Pengaruh Motivasi Belajar Dan Catatan Peta

Pikiran Terhadap Retensi Siswa, Surabaya, Program Pasca Sarjana UNIPA.

Suhardjono ; 2000, Paradigma Baru Pendidikan Menuju Era Demokratisasi

Belajar, Malang, Universitas Brawijaya..

 

Drs. Pudji Andoko A.W., M.Pd, lahir di Blitar 30 September 1967, Guru SMPN I Giligenting, Sumenep. Menempuh program S1 di FKIP UNEJ Jurusan Biologi, Lulus Th. 1992, menempuh Program S 2 Jurusan Teknologi Pembelajaran di UNIPA Surabaya, Lulus th. 2004, pernah menjadi juara 2 guru berprestasi tingkat kabupaten Sumenep, sering mengisi artikel di Buletin IPP NU Giligenting.

 

Back To Daftar Isi

WAWANCARA

H.D. Zawawi Imron

Buatkan Anggaran untuk Pengembangan Minat Baca Masyarakat

 

Kemajuan suatu bangsa bisa ditentukan melalui kegemaran dan semangat membaca masyarakatnya. Budaya baca dan komitmen membaca adalah cermin dasar dari kemajuan peradaban, sehingga perlu untuk terus dipupuk dan dikembangkan. Akan tetapi, tidak semua bangsa dan khususnya masyarakat seperti Sumenep yang mampu menciptakan tradisi membaca itu sebagai bagian dari kesadaran hidupnya.

Masyarakat kita bahkan masih tetap kental dengan budaya lisan dan budaya telinga, yang pada gilirannya sudah barang tentu akan menjadi hambatan utama di dalam membangun masyarakat yang berperadaban tinggi ; dimana semangat membaca dapat dijadikan sebagai aktivitas hidup yang membanggakan.

Lalu, bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan agar masyarakat kita dapat merubah kebiasaan ini ; dari kebiasaan mendengar ke arah baru kebiasaan membaca dan membaca. Berikut hasil perbincangan Mohammad Suhaidi RB dengan si Celurit Emas, H.D. Zawawi Imron, Budayawan Madura.

 

 

Pak Zawawi, hari ini masyarakat kita tengah hidup dalam satu era bernama globalisasi informasi yang luar biasa dengan media informasi yang tentunya juga beragam, mulai media cetak dan lebih-lebih media elektronik seperti TV dan radio yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai salah satu pelestari budaya lisan dan budaya dengar masyarakat. Bagaimana Pak Zawawi melihat hal itu?

Yang sudah terjadi, terjadilah. Akan tetapi, pada sisi yang lain yang harus dilakukan adalah bagaimana kita mampu mengemas generasi muda dan anak-anak kita menjadi penggemar (membaca, red) yang pada akhirnya akan mampu tercipta suatu kebudayaan yag benar-benar suka membaca.

 

Proses pelaksanaannya bagaimana kira-kira?

Itu bisa dilakukan sejak awal. Misalnya bisa dilakukan sejak masih TK atau bahkan sejak SD dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah yang ada. Hal itu dilakukan dalam rangka merangsang anak-anak agar dapat menyenangi buku-buku bacaan. Kalau bisa, ada waktu-waktu tertentulah yang dapat dimanfaatkan untuk membaca, misalnya hari Minggu baik pagi maupun sore harinya bisa dimanfaatkan untuk mendatangi perpustakaan.

 

Dengan demikian, perlu adanya kesadaran bersama terutama unsur sekolah sendiri bagaimana ada terobosan baru dalam rangka menumbuhkan minat baca anak-anak sebagai calon masyarakat. Dalam hal ini guru tentunya memiliki tanggung jawab yang besar?

Ya, walaupun kita juga tidak bisa menyalahkan guru sepenuhnya, karena di rumah orang tua juga memiliki tugas yang sama ; menyediakan buku-buku bacaan bagi anak-anaknya, sehingga dapat tersedia perpustakaan di rumah dan sekaligus bisa dibentuk sejenis creative minority.

 

Maksudnya ?

Yaitu, ada beberapa anak yang datang di perpustakaan. Anak-anak yang bisa membaca disuruh membaca di perpustakaan itu. Kalau ini bisa dilakukan, sangat luar biasa sekali dalam menumbuhkan minat baca anak dan masyarakat kita secara umum.

 

Ada asumsi yang selama ini berkembang dan ini mungkin menjadi momok bagi kita dalam rangka mewujudkan masyarakat membaca, yaitu bahwa budaya lisan tidak harus dihapuskan karena mampu mewariskan kearifan-kearifan. Pak Zawawi bisa memberikan penjelasan yang lebih detail tentang hal ini?

 Budaya lisan memang harus juga dapat dipelihara dengan baik. Bahkan menurut saya, kalau misalnya ada budaya lokal yang hilang, itu harus dibukukan kembali supaya dapat dibaca. Banyak dongeng-dongeng serta cerita-cerita Madura yang memiliki nilai kok. Salah satunya, dengan cara-cara tertentu seperti yang dilakukan oleh Gramedia, yaitu dengan cara menyatukan cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah. Waktu itu saya juga ikut menyumbangkan sembilan cerita rakyat Madura. Itu sangat menarik. Saya kira semua perpustakaan, baik perpustakaan Sekolah maupun daerah harus memiliki buku-buku yang semacam itu, sehingga kita tidak terlalu amat jauh dalam mengenal budaya-budaya lokal kita. Banyak orang Madura mungkin sudah tahu tentang legenda Malin Kundang yang sudah ditulis dalam bentuk buku atau bahkan sudah di-filmkan, tetapi di satu sisi tidak tahu menahu tentang Legenda Madura Joko Tole. Ini sangat penting agar anak-anak Madura sendiri tidak terlalu jauh dengan warisan-warisan nenek moyangnya sendiri.

 

Secara obyektif, bagaimana Pak Zawawi melihat kondisi riil pengembangan minat baca masyarakat Sumenep

 Kalau dilihat dalam pesantren (yang ada di Sumenep, red) sendiri budaya baca sudah sangat bagus sekali.

 

Kalau di luar Pesantren sendiri kondisinya bagaimana?

Kalau di luar pesantren, seperti di desa-desa, budaya baca memang masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan.

 

Lalu peran para budayawan, termasuk Pak Zawawi sendiri dalam rangka memberikan yang terbaik bagi masyarakat Sumenep agar dapat tercipta kesadaran bersama di tengah-tengah masyarakat tentang baca membaca?

Saya sendiri - terus terang - memiliki kelemahan yang harus saya sadari. Saya bukan termasuk manusia yang bisa langsung praktik, tetapi mungkin termasuk manusia pencetus ide saja.

 

Misalnya ide-ide kreatif yang sudah dilakukan?

Banyak ide-ide saya yang sebenarnya tidak dapat saya laksanakan sendiri, karena alasan sarana dan pra sarana. Kalau ide-ide dalam hal budaya lokal yang telah saya lakukan antara lain menginventarisasi dan merenovasi, seperti musik mulut Madura. Itu mungkin salah satu yang dapat saya lakukan, walaupun sebenarnya masih sangat banyak yang masih belum dilakukan.

 

Selain itu, bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan agar secara istiqomah target menciptakan budaya baca di masyarakat kita dapat dilakukan?

 Ya, tentunya dibutuhkanh kerja bersama semua elemen masyarakat kita. Baik pemerintah, masyarakat dan orang tua anak sendiri. Karena di satu sisi pemerintah mempunyai tugas menyediakan buku bacaan bagi anak-anak dan masyarakat di desa-desa. Maka penting sekali didirikan perpustakaan di desa-desa.

 

Apakah gagasan itu dapat menjadi kenyataan, sementara kita tahu mayoritas pendidikan masyarakat kita berada dalam tingkat yang sangat memprihatinkan? Mungkinkah minat baca dapat ditumbuh kembangkan dengan kondisi kesadaran pendidikan yang rendah?

 Mengapa tidak? Dulu, Balai Pustaka menjual buku-bukunya ke desa-desa, laku kok. Selain itu, buku-buku yang ada bukan hanya diletakkan saja, tetapi juga harus melakukan kampanye-kampanye agar gemar membaca.

 

Model kampanye gemar membacanya seperti apa ?

Misalnya, dengan cara yang pernah dilakukan oleh Taufik Ismail dan kawan-kawannya, dengan cara mendatangkan penulis buku ke satu tempat atau menghadirkan anak-anak yang bagus cara membacanya, kemudian diminta membaca, sementara yang lain mendengarkannya.

 

Pengalaman-pengalaman masa lalu yang lain?

Dulu, waktu saya masih sekolah, saya dapat meminjam buku-buku di kantor penerangan Kecamatan. Banyak sekali waktu itu buku-buku yang tersedia. Misalnya, novel Suropati, Cik Ditiro dan Cokro Aminoto, di samping ada juga majalah-majalah yang dapat dibaca seperti majalah Pesat yang juga memuat tentang kesusasteraan. Sementara di kantor yang lain, yang kala itu disebut dengan kantor pendidikan masyarakat milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ada perpustakaannya. Di dalamnya juga mengoleksi majalah Siasat dan majalah Mimbar Indonesia yang memuat karya-karya sastrawan Indonesia bisa dipinjam.

 

Hubungannya dengan saat ini?

Kalau dulu, ketika kita masih miskin, kita mampu mendirikan perpustakaan, tidak mungkin sekarang kita tidak mampu. Oleh karena itu, pembangunan jangan hanya di arahkan pada hal-hal yang sifatnya fisik saja, tetapi bagaimana juga diarahkan pada hal-hal yang menyangkut kecerdasan intelegensia, emosional, spritualitas yang dapat memperkaya batin juga turut difikirkan, termasuk juga bagaimana tidak hanya mendirikan perpustakaan di tingkat-tingkat kecamatan saja, tetapi juga dapat mendirikan perpustakaan di desa-desa. Sebab, mana mungkin informasi yang benar akan bisa sampai ke masyarakat kalau tidak disediakan perpustakaan. Demikian pula, di sekolah perpustakaan juga dapat diaktifkan semaksimal mungkin, walaupun memang guru-guru di sekolah kurang memperhatikan perpustakaan bagaimana dapat menjadi media yang dapat menghangatkan minat baca anak-anak.

 

Untuk menghangatkan minat baca di sekolah, kalau demikian sangat tidak memungkinkan?

Itu dibutuhkan guru-guru yang telaten, terutama yang minat bacanya juga tinggi dan mampu memberikan apresiasi kepada anak-anaknya tentang sebuah buku. Insyaallah kalau kita mau berjuang, ini bisa dilakukan.

 

Gagasan mendirikan perpustakaan desa seperti yang Pak Zawawi mimpikan apa mungkin bisa dilakukan dengan segala kekurangan, selain kesadaran masyarakat masih terbatas juga sarana yang juga terbatas? Mungkin ada langkah-langkah yang lain yang menurut Pak Zawawi akan lebih taktis?

Nanti bisa melalui pemerintah. Pemerintah bisa membuatkan anggaran khusus peningkatan minat baca masyarakat sebagai bagian dari upaya mencerdaskan masyarakat kita. Sebab, proses pencerdasan harus dilakukan agar masyarakat memiliki daya kritis pada pemimpinnya. Itu sangat penting dilakukan agar tercipta masyarakat madani (civil society) dan masyarakat yang berbudaya

 

Dengan kata lain, buku tetap menjadi kunci utama dalam rangka melahirkan masyarakat yang berbudaya?

Ya, soalnya kalau nanti masyarakat yang berbudaya memang benar-benar terjadi. Para pemimpin juga akan berhati-hati. Mereka tidak akan mudah menipu rakyat.

 

 

Back To Daftar Isi

 

 ARTIKEL LEPAS  

Menggugat Pendidikan di Antara Reruntuhan Budaya

Oleh: Muhammad Saidi

 

Orang-orang Roma tidak mengajarkan apa-apa yang bisa dipelajari sambil duduk kepada anak-anak mereka

(Montaigne, 1533-1592)

(i)

Gaung dunia pendidikan di Indonesia sejak dasawarsa terakhir ini mulai mengerucut pada persoalan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kompetensi merupakan kata kunci yang melahirkan penafsiran ganda, meskipun difinisi kurikulum baru itu dibakukan oleh Puskur Balitbang Depdiknas. Proses kompetensi diasumsikan sebagai media dalam menggiring peserta didik untuk mencapai life skill (kecakapan hidup). Dalam kata lain, kompetensi merupakan kebalikan dari konten.

Secara yuridis isyarat perlunya penyempurnaan (baca: perubahan) Kurikulum 1994 dan Suplemen-nya termaktub dalam GBHN 1999 yang berbunyi: Dalam bidang pendidikan perlu melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku secara nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis secara profesional.

Perubahan kurikulum (menjadi KBK)—setiap sepuluh tahun kurikulum ditinjau ulang—sebenarnya dimaksudkan untuk menyiasati anjloknya mutu pendidikan di Indonesia. Standar kelulusan bagi peserta didik yang dipatok kurang dari angka 5—yang merupakan nilai ‘mati’—menunjukkan keharusan peserta didik menguasai pengetahuan yang tertera dalam kurikulum tidak sampai 50 persen. Sungguh ironis, lebih dari 50 persen pengetahuan yang seharusnya bisa dikuasai peserta didik diabaikan begitu saja.

Sebenarnya standarisasi mutu pendidikan menjadi keharusan, sebab hal itu menyangkut SDM (Sumber Daya Manusia) yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang dipakai. Namun, kenyataan berbicara lain, mutu pendidikan di Indonesia belakangan ini (malah) semakin memprihatinkan. Dari beberapa survai yang dilakukan berbagai lembaga penelitian menunjukkan mutu pendidikan di Indonesia semakin anjlok di bawah negara-negara berkembang, yang pada mulanya jauh di bawah Indonesia.

Depdiknas dalam Muchlas Samani melaporkan, dari komparasi internasional, mutu pendidikan di Indonesia kurang mengembirakan. Hasil survai Human Development Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat ke 102 dari 106 negara yang disurvai, satu peringkat di bawah Vietnam. Juga hasil survai the Political Economic Risk Consultation (PERC) menunjukkan Indonesia berada di peringkat 12 dari 12 negara yang disurvai, masih satu peringkat di bawah Vietnam. Sedangkan hasil studi the Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R 1999) melaporkan, siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA, dan peringkat ke-34 untuk matematika, dari 38 negara yang disurvai di Asia, Australia dan Afrika. 30

Hasil kerja beberapa lembaga survai internasional di atas seharusnya menjadi pelajaran yang berharga untuk memecahkan masalah pendidikan di tanah air. Setidaknya perlu disadari, bahwa upaya peningkatan mutu yang dilakukan selama ini belum mampu memecahkan masalah dasar pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini Muchlas Samani menawarkan dua konsep dasar peningkatan mutu pendidikan: (1)komitmen peningkatan mutu pendidikan merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan SDM, baik sebagai pribadi-pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa; dan (2)pemeratan daya tampunng harus disertai pemerataan mutu pendidikan, sehingga mampu menjangkau seluruh masyarakat.31

Tawaran pertama Muchlas Samani menggiring perlunya peserta didik mempunyai (modal) life skill yang memadai setelah terjun ke masyarakat. Dengan kata lain, keprihatinan pendidikan perlu dijawab dengan merevisi kurikulum sesegara mungkin. KBK merupakan jawaban utama yang dianggap terbaik belakangan ini. Sedangkan pemeratan daya tampung harus setara dengan pemeratan mutu di antaranya menunjukkan pola aklarasi (perpendekan masa pendidikan) yang belakangan ini diterapkan di beberapa SMP, SMA dan PT segera mungkin diabaikan. Sebab, mutu pendidikan yang berlangsung dalam sekolah aklarasi bukan dua kali lebih unggul daripada sekolah konvensional. Artinya, kenyataan yang terjadi pada sekolah aklarasi yang ada di Indonesia hanya sedikit di atas lebih maju daripada konvensional. Dan malah berlaku sebaliknya, tidak ada yang dapat diunggulkan, ketika PT Swasta ramai-ramai menyelenggarakan perpendekan masa kuliah. Sayangnya, untuk yang terakhir ini, budaya yang berkembang dalam dunia pendidikan di Indonesia terjadi sebaliknya, hanya berkutat pada ‘label’ (baca: titel, ijazah) tanpa diikuti oleh pengetahuan akademik yang memadai. Perlu disadari, ternyata lapangan kerja (Indonesia) hanya membutuhkan manusia yang berijazah daripada manusia yang terampil.

....Masa sekolah demi masa sekolah berlalu,

merekapun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,

ahli pertanian palsu, insinyur palsu.

Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.

Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu....32

(ii)

Gerakan pengenalan KBK sudah berlangsung di sejumlah negara, baik di negara maju maupun berkembang. Meskipun dengan label dan nama yang berbeda, tetapi filosofinya sama.33 Di sejumlah negara bagian Australia, kompetensi diperkenalkan sebagai learning outcome, di Amerika Serikat dikenal dengan istilah curriculum standard, di Inggris berlabel attaiment target, sedangkan di Singapura learning outcome. Indonesia tidak akan tinggal diam dengan pola-pola yang berlaku di negara-negara maju itu. Kita (akan) mengenal KBK dengan kecakapan hidup dan MPMBS-nya yang dianggap akan membawa pola baru dalam dunia pendidikan. Meski sebenarnya perangkat pendukung untuk menuju kompetensi masih harus diperdebatkan dengan tawaran-tawaran dan instruksi-instruksi yang mengikat. Artinya, Indonesia tidak menolak pembaharuan sebagaimana negara maju maupun negara berkembang lainnya.

Tampaknya, perilaku ekspor-impor di Indonesia tidak hanya berlangsung pada dunia ekonomi. Tetapi juga berlaku dalam dunia pendidikan. KBK yang akan segera diberlakukan di Indonesia secara resmi merupakan ‘barang’ impor dari luar yang direnovasi dan dipaksa membaur dengan budaya yang ada di Indonesia. Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd (pakar teknologi pembela-jaran) dalam berbagai kesempatan menentang KBK yang dianggap terbaik menurut Puskur Balitbang Depdiknas. KBK menurut Degeng, hanya menggiring anak cekatan bekerja, tanpa diikuti oleh perilaku cerdas. Lebih jauh, Degeng memperkenalkan pembelajaran dengan pola kontsruktivistik, dan meninggalkan pola behavioristik yang selama ini diagung-agungkan di Indonesia.34 Dalam hal ini Degeng lebih mengedepankan keberagaman dan kesemrawutan pola pikir daripada keseragaman polarisasi pemikiran.

Kekhawatiran Degeng bukan tanpa alasan. Jauh sebelum itu, kompetensi yang lebih dikenal dengan curriculum standard diterapkan di Amerika Latin untuk pendidikan etnis kulit hitam. Dimaksudkan, kompetensi sangat perlu bagi warga kulit hitam agar kerja mereka sebagai tenaga kasar lebih cekatan, dan tentu hal tersebut menguntungkan etnis kulit putih. Artinya, biaya yang dikeluarkan warga kulit putih untuk menggaji warga kulit hitam tidak terbuang percuma, tetapi mendapat pelayanan kerja yang maksimal sesuai dengan harapan warga kulit putih. Dengan kata lain, warga kulit putih sendiri tidak perlu berkompetensi dalam menggali pengetahuan. Ironis sekali, karena ternyata keberhasilan pendidikan berkompetensi sekaligus merupakan keberhasilan etnis kulit putih dalam mempertahankan perbudakan.

Setara dengan fenomena yang terjadi pada etnis kulit hitam di Amerika Latin, pendidikan dengan menekankan kompetensi kepada peserta didik secara filosofi sudah diterapkan oleh Hindia Belanda di Indonesia. Sebagaimana kita tahu, penjajah Belanda tidak berminat mencerdaskan kehidupan rakyat jajahannya. Ketika Van den Bosch menjabat sebagai gubernur jenderal (1829-1834), ia merasa membutuhkan tenaga penduduk pribumi terdidik untuk memperlancar administrasi pemerintahan di negeri jajahan dan pekerja kelas bawah. Tanpa bantuan penduduk pribumi terdidik, perekonomian yang dibangun Hindia Belanda tidak akan maju, dan dimungkinkan akan ambruk. Karena itu, pada tahun 1831 Gubernur Jenderal Van den Bosch mengeluarkan surat edaran dan angket tentang pendirian sekolah pribumi di setiap keresidenan dengan biaya dari Persekutuan Injil (Bijbelgenoot Schap). Namun kebijakan Van den Bosch mendapat tantangan keras dari Pemerintah Hindia Belanda (sendiri) dan berbagai pihak, sebab bertentangan dengan salah satu pokok garis kebijakan Kerajaan Belanda yang berupaya bersikap netral terhadap keberagaman bidang agama di Indonesia.

Setelah melewati prosedur yang agak panjang dan rumit, pada tahun 1848 terbit Keputusan Raja No.95 tertanggal 30 September 1848 yang memberikan kewenangan kepada gubernur jenderal untuk mengeluarkan biaya sebesar f.25.000,00 per tahun untuk membiayai pendirian sekolah bagi pribumi di Jawa.35 Tujuannya untuk mendidik calon pegawai negeri, dalam membantu pemerintah Hindia Belanda. Dan, berdirilah sekolah-sekolah yang penyebarannya masih tidak merata, dan jauh dari harapan penduduk pribumi.

Pada dekade belakangan, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Sekolah Dasar Kelas Pertama (de Scholen der eerste klasse) di kota keresidenan dan kabupaten untuk golongan bangsawan atau ningrat, anak-anak dari tokoh terkemuka dan keluarga kaya. Lulusannya diproyeksikan sebagai pegawai negeri dalam memenuhi kebutuhan tenaga administrasi pemerintahan dan perdagangan. Kemudian, sebagaimana Firman Raja Belanda tertanggal 7 September 1915 Stbl. No.23, Hindia Belanda mendirikan Sekolah Dasar Kelas Kedua (de Scholen der tweede klasse) yang diperuntukkan bagi anak-anak pribumi ‘biasa’, yang kemudian berkembang dengan mendirikan HIS (Hollandsch Inlandsch School) untuk kalangan bangsawan, anak tokoh terkemuka dan anak-anak pegawai HIS.

Pendidikan berkompetensi bagi peserta didik pada waktu itu disiasati dengan cara: (1)pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk pribumi. Pendidikan semacam ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga terdidik bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi Hindia Belanda, dan (2) pendidikan rendah bagi golongan pribumi disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.

Tujuan pendidikan selama periode kolonial pada dasarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tanaga kerja terdidik bergaji rendah bagi kaum pemilik modal Belanda. Lulusannya sebagian diharapkan menjadi tanaga administrasi, tenaga teknik, atau tenaga pertanian. Dan sebagian sebagai tenaga kerja kelas dua, dan tenaga kerja kelas bawah (unskilled worker). Dari hasil studi Komisi Pendidikan Indonesia Belanda (Hollandsch Inlandsch Onderwijs Commissie) yang dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1928-1929, diperoleh temuan bahwa 2 persen dari orang pribumi yang memperoleh pendidikan Barat dapat mandiri, lebih dari 85 persen menjadi pekerja bayaran, dan sisanya menganggur. Dari 83 persen itu, 45 persen di antaranya sebagai pegawai negeri, meskipun untuk jenis pekerjaan yang sama gaji pegawai negeri pribumi jauh lebih rendah daripada gaji orang Eropa. 36

Pola pengajaran (baca: pembelajaran) pada era kolonial sudah berupa kompetensi yang diharapkan lulusannya memiliki life skill. Anak (baca: peserta didik) misalnya, ketika belajar tentang ukuran berat pada pelajaran berhitung di kelas dengan cara guru menyediakan timbangan, dan meminta anak belajar langsung tentang ukuran berat.37 Meskipun untuk pembelajaran yang mengarah pada sikap nasionalisme peserta didik selalu diabaikan. Dan itu merupakan hal yang wajar, sebab pendidikan yang dibangun Hindia Belanda bukan untuk melahirkan lulusan sebagai ‘pembangkang’ terhadap penjajah. Tetapi, untuk menjadi pekerja keras terdidik berpenghasilan rendah.

Dua kasus pendidikan kompetensi di atas telah menjerumuskan peserta didik menjadi pendukung dan pelengkap dari sistem perekonomian dan politik di sebuah negara. Ia (pendidikan kompetensi) merupakan doktrin terselubung dari penyelenggaran sebuah sistem. Dalam hal ini, negara telah menitikkan noda pada pembentukan watak warga negara. Namun terlepas dari fenomena di atas, KBK di Indonesia ‘mungkin’ (?) berbeda dengan kasus di atas. Ia (KBK) diarahkan melahirkan lulusan yang jauh lebih mandiri. Artinya, kompetensi diharapkan mampu menggiring peserta didik memahami hidupnya ke arah yang lebih baik. Sebab ternyata kita (sekarang) tidak sedang hidup di alam jajahan, meskipun seringkali peserta didik dipaksa mengikuti pola-pola yang diakses dari luar.

(iii)

Pengukuran keberhasilan suatu sistem pendidikan sejauh ini hanya terpaku pada pengetahuan yang disadap peserta didik. Selama ini, sistem yang dipakai mengabaikan nilai dan sikap. Bahkan beberapa lembaga survai lebih menekankan pada aspek pengetahuan yang ditransfer institusi pendidikan kepada peserta didik, bukan hasil akhir dari perilaku peserta didik itu sendiri. Meskipun sebenarnya lahirnya istilah IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) juga disusul dengan lahirnya IMTAQ (Iman dan Taqwa). Namun sayangnya, kerangka pemikiran tentang IMTAQ untuk mendampingi IPTEK yang digulirkan dalam dunia pendidikan tidak sampai tuntas.

Mengabaikan pengukuran nilai dan sikap dalam sistem pendidikan sama artinya dengan mencabik-cabik budaya bangsa. Muncul pertanyaan, mengapa harus mengimpor pola sistem pendidikan dari luar? Mengapa kita tidak menggali pola pendidikan sesuai dengan budaya dalam negeri? KBK merupakan pola pembelajaran yang diimpor dari luar. Sementara, kita mempunyai pola pembelajaran sendiri yang merupakan kekayaan bangsa. Pola pendidikaan di pesantren merupakan satu-satuya pola pembelajaran asli yang kita miliki. Di pesantren berlaku pembelajaran dengan metode sorogan, yang menekankan satu per satu santri (baca: peserta didik) memahami setiap materi yang disampaikan guru (kiai). Dalam pesantren sudah diterapkan pendidikan sepanjang hayat, dan pembelajaran berkompetensi dengan menekankan perubahan watak (perilaku). Di pesantren sudah ditekankan setiap santri mengenal siapa dirinya, lingkungannya dan persoalan di tengah masyarakatnya. Di pesantren ditekankan pengajaran nonklasikal, seperti belajar privat, belajar sendiri (muthala’ah), sistem kursus blok (muhadloroh), seminar, lokakarya dan problem solving (bahtsul masail), asistensi (ustad pengganti/lora), karyawisata (stage), latihan (gaming), kolokuium (musyawarah), kuliah kerja, studi proyek, dan lain-lain yang semuanya bermuara dari satu sistem sorogan, yang menempatkan kiai sebagai suri teladan. Di pesantren sudah dikenalkan materi hukum (fiqh), undang-udang samawi (Alquran-Hadits), ilmu hitung (faraid), perbintangan (hisab), ilmu sosial (akidah akhlaq), sejarah (tarikh), paedagogik pendidikan (ta’limul muta’allim), ilmu bahasa (nahwu), kosakata (tashrib), puisi (diba’i), seni suara (gambus, qosidah), dan lain-lain.

Semua teori pembelajaran yang dikemukakan beberapa pakar pendidikan telah terakomadasi dalam dunia pesantren. Sebut beberapa contoh, belajar menurut pandangan Skinner yang mengganggap bahwa belajar adalah suatu perilaku, Gagne menganggap belajar merupakan kegiatan yang kompleks, Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan, dan Ragers yang berpendapat bahwa praktik pendidikan menitikberatkan pada segi pengajaran bukan pada siswa yang belajar.38 Semua teori pengajaran menitikberatkan peserta didik (santri) sebagai calon pengubah perilakunya, bahwa pengetahuan dibentuk oleh santri sendiri dari hasil interaksi dalam dunia pesantren, bahwa santri adalah pengubah peradaban, bahwa santri sebagai teladan di masyarakatnya. Pesantren juga telah mengakomodasi kebudayaan dengan tiga wujud sekaligus, wujud ideel, wujud kelakuan, dan wujud fisik.39

Pola semacam itu sudah berlangsung jauh sebelum para pakar pendidikan mengemukakan teorinya. Sayangnya, jarang sekali peneliti berhasrat menyingkap pola pembelajaran yang berlangsung di dalam pesantren. Dan harus diakui, bahwa kita masih lebih percaya kepada peneliti luar daripada peneliti yang datang dari kampung kita sendiri. Padahal obyek penelitian yang dilakukan peneliti luar lebih menitikberatkan pada peradaban luar, yang tidak bisa serta merta dipakai di negeri kita. Anehnya, hal itu malah menjadi kebanggaan tersendiri. Padahal sejauh ini, pendidikan di pesantren lebih berhasil mencapai sasaran perubahan watak peserta didik daripada institusi pendidikan formal (sekolah) yang sampai saat ini dianggap masih memprihatinkan. Bahkan pengembangan pendidikan dengan segala pemerataannya sampai ke semua lapisan jauh mendahului institusi konvensional (sekolah formal).

Ada strategi yang menarik yang dilakukan kiai untuk mengembangkan pendidikan (pesantren) sampai merambah pelosok Jawa. Zamakshari Dhofier, peneliti pesantren, dalam Em Saidi Dahlan mengungkapkan temuannya, bahwa diusahakan anak-anak kiai tidak kawin dengan saudara sepupunya. Untuk itu, isteri kiai menyusui semua kemenakannya sehingga berlakulah fiqhul Islam yang melarang saudara sesusuan kawin.40 Hal itu dimaksudkan agar (nantinya) anak-anak kiai kawin dengan orang lain dalam kekerabatan jauh, mendirikan pesantren sendiri di daerah lain, dan tidak bergantung pada pesantren peninggalan orangtuanya. Lebih jauh Zamakshari Dhofier menunjuk pesantren di Jombang, Jawa Timur, yang menumbuhkan jumlah (pendidikan) pesantren jauh sebelum pemerintah menggembar-gemborkan pemerataan pendidikan bagi semua lapisan.

Kita memang tidak perlu menampik, bahwa UU No.12 tahun 1954 tentang tujuan pendidikan dan pengajaran (pasal 3): Tujuan pendidikan dan pengajaran ilah membentuk manusia susial yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Dan (Pasal 4) menekankan, bahwa: Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia,41 sudah lama dipraktikkan di pesantren. Dan hampir semua kiai telah mensosialisasikannya ke pelosok tanah Jawa dan Madura. Dan kita tahu, dari kalangan pesantren pula yang (ikut) merumuskan sila-sila dari Pancasila.

Dari asumsi di atas, semestinya kita mau memulai mengakses pola pendidikan pesantren dan menginovasinya sesuai dengan tuntutan jaman daripada menerapkan pola lain (semisal KBK) yang masih tidak jelas arah jalannya. Sebab selama ini pendidikan pesantren telah memberikan sumbangan terbaik kepada bangsa dan negara dengan menampilkan putera-putera pesantren yang cendekia di berbagai bidang. Tetapi sayangnya, negeri kita tengah dilanda virus bangga memamerkan produksi luar daripada menggunakan produksi dalam negeri. Sehingga tidak heran kalau kita tidak mampu menjadi ‘tuan’ di negeri sendiri.

Barangsiapa yang maju dalam hal pengetahuan

tetapi mundur dalam hal watak,

ia lebih mundur daripada maju (Anonim).42

(iv)

Hal lain yang perlu diperhatikan, apapun pola yang dipakai dalam memajukan pendidikan tanpa diikuti oleh SDM pelaku pendidikan yang memadai, hasilnya akan nihil. Selama ini, birokrasi pendidikan cenderung diisi (baca: dijabat) oleh orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap kemajuan pendidikan. Dengan kata lain, birokrasi pendidikan belakangan ini cenderung diisi oleh insan-insan yang anti perubahan, yang menggiring persoalan pendidikan ke dalam status qou.

Dalam tulisan ini, kita patut menarik fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan kepada persoalan lokal, ketika seorang master birokrasi pendidikan tidak memahami tugas pokoknya. Gerak dunia pendidikan semakin sempit ketika otonomi pendidikan diterjemah sebagai salah satu bentuk kekuasaan memperbudak insan pendidik. Pelaku pendidikan oleh birokrasi pendidikan dianggap sebagai obyek untuk mencapai tujuan pribadinya. Padahal menurut Rondinal and Roddle dalam Solicihin Abdul Wahab mengungkapkan, bahwa salah satu tugas pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah menyediakan pelayanan publik yang pokok, seperti pendidikan, kesehatan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum di daerahnya.43 Pelayanan publik pokok yang dimaksud berupa infrastruktur, dan pelaku birokrasi pendidikan yang memadai.

Birokrasi pendidikan di daerah berupa Dinas Pendidikan dengan perangkat Subdinas Pendidikan sampai kepala sekolah, harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kepiawaian dalam mengelola pendidikan. Kita sering ewuh-pakewuh untuk mengganti pelaku birokrasi pendidikan karena alasan kemanusiaan. Padahal salah menempatkan pelaku birokrasi pendidikan, yang akan menjadi korban puluhan bahkan ratusan ribu anak bangsa. Seringkali hal ini tidak disadari, ketika birokrasi pendidikan digiring ke alam jabatan poliitik. Dan dampaknya, manajemen pendidikan sampai ke tingkat bawah menjadi amburadul. Naudzubillah!

Dari fenomena tersebut, muncul satu pertanyaan: Apa yang dapat kita lakukan? Tentu satu jawabnya: potong satu generasi. Artinya, apabila pengelolaan pendidikan di daerah dianggap gagal dengan indikator-indikator yang mendukung, maka jabatan strategis birokrasi pendidikan harus diganti dengan wajah-wajah baru yang dimungkinkan lebih piawai mengelola pendidikan. Tentu dengan melakukan ‘uji kelayakan’ dengan satu niatan, bahwa pendidikan adalah untuk semua kalangan.

Ketika maksud semacam ini digulirkan, bukan tidak mungkin akan muncul satu pertanyaan klasik, mungkinkan penguasa lokal dengan jabatan politiknya ‘berani’ melakukan perubahan? Sebab, ternyata Indonesia masih seperti yang dulu, yang selalu ‘alergi’ dengan segala bentuk perubahan yang dibungkus dengan label kemanusiaan. Padahal kita sadari, bahwa segala bentuk perubahan akan selalu diikuti dengan pengorbanan. Innalillah!

Bu, paling penting pendidikan anak di rumah

Mengontrol pergaulan mereka sangat susah

Pada mereka berikan sebanyak-banyak waktu

Itu agenda rumahtangga paling nomor satu

Karir suami biarkan berproses sewajarnya

Dia harus berprestasi sendiri

Kalau ibu ikut campur juga

Terpaksa menjilat sebagai strategi44

Akhirnya, sebuah pertanyaan patut kita renungkan, berdosakah kita menggugat pendidikan untuk menata (ulang) budaya dalam negeri yang tercabik-cabik? Itu saja.**

30 Muchlas Samani. 2002. Kecakapan Hidup-Melalui pendekatan pendidikan berbasis luas. Tim Broad Based Education Depdiknas LPM Unesa: Surabaya

31 Ibid.

32 Petikan dari Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono dalam Horison, April 2002.

33 S. Karim A. Karhami, M.A. 2002. Mengenal Kurikulum Berbasis Kompetensi. Puskur Balitbang: Jakarta.

34 Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd. Belajar-Pembelajaran (Makalah). LPPP UM: Malang 2003.

35 Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Depdikbud: Jakarta

36 ibid.

37 Muhammad Saidi. 2004. RP. Abd. Sukur Notoasmoro: Menata Budaya di Antara Reruntuhan Neofeodalisme.

38 Dr. I Nyoman Sudana Degeng. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Proyek Pengembangan LPTK Depdikbud: Jakarta

39 Koentjaraningrat. 1985. Bunga Rampai, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Grasindo: Jakarta.

40 Em Saidi Dahlan. Menggugah Pesantren dan Pengembangannya. Harian Umum Jayakarta, Jakarta. Mei 1992

41 Drs. Ngalim Purwanto, MP. Cet.ix 1997. Ilmu Pendidikan, Teoritis dan Praktis. Remaja Rosdakarya: Bandung

42 Kemas Jimmy Habien. Tt. Rangkaian Seribu Kata Mutiara. Karya Utama: Surabaya.

43 Solichin Abdul Wahab dkk. 2002. Masa Depan Otonomi Daerah: Kajian sosial, ekonomi, dan politik untuk menciptakan sinergi dalam pembangunan daerah. SIC: Surabaya

44 Petikan dari sajak Dharma Wanita dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Seratus Puisi Taufik Ismail. Karya Taufik Ismail. Yayasan Indonesia: Jakarta 2000

 

 

Back To Daftar Isi

PERSOALAN WIBAWA PARA PENDIDIK

( Oleh : Drs. Sujibto, S.Pd. )

 

Pendahuluan

Surat kabar pernah memberitakan peristiwa murid berunjuk rasa memprotes tingkah laku guru, sinetron di televisi pernah menampilkan adegan yang mempertontonkan konflik antara mahasiswa dengan dosen, serta guru yang ditertawakan murid-muridnya. Orang bertanya lunturkah wibawa para pendidik dewasa ini ?

Sebagai seorang pendidik saya melihat ekses-ekses seperti itu sebagai setitik nila yang merusak susu sebelanga. Peristiwa-peristiwa itu terjadi tentunya berkaitan dengan peranan dan pengelolaan sekolah dalam hubungannya dengan kenakalan anak didik. Tetapi dalam hal pembinaan mental murid peranan sekolah bukan satu-satunya yang dapat diharapkan, melainkan fungsi orang tua di rumah lebih banyak menentukan.

Dengan demikian, posisi guru menjadi sulit karena tidak adanya kontinuitas kebudayaan. Disaat melepaskan nilai-nilai tradisional, kita masih belum menemukan pengganti, bentuk yang baru dan diyakini. Pendidikan watak kurang ditemui di sekolah selama ini. Berbicara tentang tanggung jawab orang tua pun masih diragukan. Mengenai pendidikan dalam masalah hubungan murid, guru dan orang tua inilah yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini.

 

Pengelolaan Sekolah Sangat Menentukan

Saya tidak menolak bahwa ada murid yang tidak baik terhadap guru. Demikian pula, setelah saya berbicara dengan rekan-rekan sesama pendidik, memang terlihat ada persepsi masyarakat yang tidak benar tentang guru. Akan tetapi, baiklah hal ini kita tinjau dengan melihat ke belakang.

Dahulu di zaman kolonial, kita adalah bangsa terjajah. Kini kita merdeka. Kesadaran pribadi sudah berkembang. Ada perkembangan itu yang lurus, tetapi ada pula yang tidak. Dalam perkembangan yang tidak lurus tersebut, dianut pandangan bahwa kita sesama manusia adalah sama.

Memang, kita sesama manusia adalah sama. Tetapi pada suatu saat persamaan itu tidak ada. Dalam organisasi misalnya, pimpinan tidak akan sama dengan yang dipimpin. Kalau kita menganggapnya sama, hal itu tentu keliru. Jadi, disini kita harus menerima perbedaan itu. Persamaan yang ada pada saat tersebut, mungkin hanya persamaan dalam hak-hak asasi. Saya pikir, itulah antara lain yang terjadi sehubungan dengan sikap terhadap guru, sebagai suatu gejala umum yang kita lihat.

Tetapi, segala sesuatunya itu selalu bersumber dari sekolah. Kalau sekolah dikelola dengan cara yang tidak tepat, kenakalan murid bisa saja timbul. Pengelolaan sekolah harus dilakukan dengan baik. Pengelolaan yang baik akan menghasilkan murid-murid yang baik pula (Depdiknas, 2000). Dahulu saya pernah bekerja di sekolah yang dikelola dengan cara yang tak tepat. Guru jadi menderita. Tetapi tidak banyak sekolah yang seperti itu. Jumlahnya sedikit sekali. Di wilayah Kepulauan saja misalnya, di daerah pinggir, saya masih melihat sekolah negeri yang dikelola dengan baik. Disitu tidak ada kenakalan murid. Tetapi dalam hal ini memang ada, apa yang disebut oleh pepatah “ Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tak banyak sebetulnya yang menunjukkan contoh buruk itu. Namun orang bisa saja melihatnya sebagai gejala umum.

Pimpinan dan ketertiban guru

Pengelolan sekolah yang baik menyangkut beberapa hal. Yang paling utama adalah kepemimpinan di sekolah bersangkutan. Apabila pemimpin memperlihatkan fungsinya dan tahu pandangan sebagai pendidik, tegas dan jelas, dengan sendirinya ada kewibawaan (Depdiknas, 2000). Dia harus pandai membuat pendekatan terhadap guru-guru yang lain dan terhadap murid dengan tepat secara psikologis. Pimpinan sekolah tidak sama dengan direktur sebuah perusahaan. Satu dengan yang lain sangat berbeda. Tetapi kualitas pimpinan memang tak selalu sama. Ada juga malah yang bersikap masa bodoh : bodoh atau pintar, murid-murid itu adalah anak orang lain.

Ukuran yang lain untuk suatu pengelolaan yang baik adalah ketertiban guru. Mungkin ia dipengaruhi pula oleh faktor pimpinan. Guru harus memperlihatkan disiplinnya. Dia harus konsisten dan rasional. Guru yang baik harus tahu saat dan tempat untuk menegur murid (Depdiknas, 2000).

Honorarium guru juga turut menentukan dalam hal ini. Gaji yang cukup tentu membuat orang bekerja lebih bergairah. Namun ia bukanlah faktor yang sangat berpengaruh. Batas untuk disebut cukup itu relatif sekali. Kita harus mengerti, kalau kita ingin jadi guru sebelumnya kita harus yakin bahwa dengan pekerjaan itu kita tidak mungkin kaya. Kalau mencari kekayaan yang jadi tujuannya tentunya bisa rusak.

Wibawa di Mata Murid

Tentu saja ada guru yang tidak bisa menjaga kewibawaannya. Dalam hal ini kerjasama seluruh staf pengajar dan pimpinan sekolah perlu sekali. Di sekolah itu harus diciptakan suasana : murid dapat menghargai semua guru, apakah yang mengajar dia atau tidak, wali kelas dia atau tidak, guru tetap maupun guru bantu atau kontrak. Peranan pimpinan sekolah dalam mengadakan pendekatan terhadap guru seperti ini memang perlu. Pimpinan harus dapat membangkitkan perasaan tentang harga dirinya sendiri bagi guru yang bersangkutan (Depdiknas, 2000).

Masalah wibawa guru banyak juga sangkut pautnya dengan demokratisasi pendidikan kita. Dalam melakukan demokratisasi itu, seorang guru harus dapat memisah-misahkan saat dimana ia harus menjaga wibawa dan dimana dia dapat santai. Selain itu, si guru harus membuka dirinya untuk kritik. Kritik harus dihadapi dengan dewasa. Menurut pengalaman saya, jika guru dapat memberikan alasan kepada muridnya tentang sesuatu yang dipersoalkan murid, simpati murid tetap timbul. Yang tidak boleh kita lakukan adalah membela diri dengan begitu saja, tidak mau menerima kritik karena merasa berpengalaman bertahun-tahun misalnya. Cara seperti ini akan menjatuhkan martabat guru sendiri.

Suatu saat guru harus mampu berperan sebagai orang tua. Saat yang lain dapat juga dituntut menjadi teman murid dalam berdiskusi (Abu Ahmad, 1983 : 45). Kalau murid berbicara soal cinta, guru juga harus dapat melayani itu dan membuat suasana akrab. Tetapi ingat batas. Disinilah dapat dilihat, apakah seorang guru berbakat jadi pembimbing atau tidak.

Dahulu penampilan guru sering menakutkan. Guru menghukum murid dengan cambuk dan memukul. Tetapi sekarang hal semacam itu tidak ada lagi. Jika ada kesan menakutkan pada seorang guru, paling-paling ia hanya timbul dari kekhawatiran murid akan mendapat nilai buruk. Hukuman fisik sekarang tak terpakai lagi.

Peranan Orang Tua

Dari pengalaman sehari-hari yang saya lihat, para orang tua murid cukup banyak memberikan perhatian untuk melakukan kontak antara guru dengan mereka. Agar ia lebih bergairah tentu tinggal bagaimana cara memberikan motivasi. Di sekolah yang saya pimpin, seorang anak terlebih dahulu dites, buat saya melihat kepribadiannya, latar belakangnya serta bakat. Kepada para orang tua murid disampaikan, bahwa kami hanya mendidik terbatas dari jam 07.00 sampai jam 13.00. Diluar itu, tanggung jawab orang tua dituntut lebih banyak. Kami juga mengatakan bahwa yang kami hadapi adalah manusia. Kami bukan perusahaan pembikin roti. Kerjasama antara orang tua di rumah dengan guru di sekolah perlu sekali (Abu Ahmad, 1983 : 46). Yang telah diberikan di sekolah harus diawasi perkembangannya di rumah. Kami tidak bisa menerima alasan “tidak ada waktu” dari orang tuanya jika harus dilakukan kontak. Sekolah harus menyadarkan orang tua murid, bahwa dalam meningkatkan kepandaian anak, tanggung jawab tidak sepenuhnya ada pada sekolah. Kerjasama tetap diperlukan.

Daya tarik profesi guru

Apakah kini profesi guru masih menarik ? di kota besar tampak minat untuk jadi agak kurang. Banyak bidang yang dapat jadi pilihan orang buat bekerja. Bidang-bidang yang lain itu jelas lebih menarik. Tetapi di daerah-daerah minat untuk jadi guru masih cukup banyak. Pekerjaan ini masih dihargai dan dihormati masyarakat. Orang yang betul-betul terpanggil untuk jadi guru mungkin memang hanya sedikit. Namun, bagi beberapa orang yang lain, setelah memasuki sekolah pendidikan guru, mulai terasa fungsi pendidik yang sesungguhnya. Sebetulnya dalam profesi ini ada semacam kepuasaan batin yang kita peroleh.

Pengalaman batin dan wibawa guru

Di surat kabar memang pernah ada berita tentang dipukulnya guru oleh murid. Ia tak terlalu sering. Tidak dapat kita pastikan, kenapa ekses begitu terjadi. Tetapi, mungkin yang mengawalinya adalah pendekatan guru dan murid yang dibuat seperti pendekatan antar teman yang bebas, bahkan terlihat berpacaran dengan muridnya.

Saya pernah dipanggil oleh guru anak saya dan dia memberikan nasehat-nasehat tentang pendidikan anak. Umurnya mungkin baru sekitar 24 atau 25 tahun. Dalam hati saya berkata “Dia berbeda umur belasan tahun dengan saya, kenapa dia memberi saya nasehat tentang cara mendidik ?” Saya saja punya perasaan demikian, apalagi anak-anak. Keadaannya lain jika saya dipanggil oleh kepala sekolahnya yang sudah sangat tua. Bagi saya guru tua itu betul-betul berwibawa.

Di kelas harus formal

Hal lain yang perlu pula kita ingat adalah lingkungan yang ikut mengembangkan si anak. Anak-anak sekarang, apalagi yang tinggal di kota, dengan mudah memperoleh bacaan apa saja, menonton sinetron di televisi, dan punya banyak teman bermain. Sinetron di televisi yang mereka lihat bukan lagi seperti sinetron yang ditonton anak-anak generasi yang lalu. Jika dulu kita melihat filem Tarzan, anak sekarang menonton sinetron remaja dengan segala problemnya. Mereka sudah lebih jauh berkembang. Pegetahuan mereka cepat meningkat.

Yang ada hubungannya dengan ini adalah kesukaan murid-murid memojokkan guru jika berdebat. Anak saya pernah bercerita. “Tadi kita diajak berdebat. Hampir saja gurunya kalah. Eh, dia berlagak-lagak nyalahin kita.” Saya tak tahu bagaimana debat itu dibuat. Yang saya ingat adalah pengalaman saya dulu. Jika ada debat di kelas, guru melepas kita berdebat sesama murid. Setelah selesai, guru memberikan resume. Sekarang saya tak tahu caranya. Tapi, mungkin sekali guru memang kurang bacaan, sehingga murid tahu kelemahannya. Kalau memang demikian, tentu hal seperti itu bisa saja terjadi. Tetapi dalam hal wibawa guru, yang tidak kurang pentingnya dalam pendekatan yang bercorak lebih demokratis, si guru harus dapat membeda-bedakan waktu, kapan dia harus tegak dengan wibawanya, dan kapan dia harus bertindak sebagai teman si murid. Di dalam kelas, menurut saya suasana formal harus dipertahankan. Hubungan yang sifatnya santai dan intim, jangan dilakukan pada forum di dalam kelas. Lakukan saja di luar kelas atau dalam suasana yang lain, misalnya ketika ada study tour.

Dahulu penampilan guru memang sering menciptakan rasa takut pada murid. Dia dapat saja menghukum dengan memukul. Tetapi menurut saya, guru sebaiknya, jika keras jangan menjadi keras tak menentu. Jika bebas jangan pula bebas tak menentu. Harus diberi tempat yang tepat dimana harus keras dan dimana bisa bebas.

Saya lihat kepala sekolah tempat anak saya belajar, dapat membagi hal-hal semacam itu. Anak saya takut kalau tidak ke sekolah tanpa mengirim kabar lewat surat. Dia takut terlambat, karena bagi yang terlambat diharuskan membagi-bagikan permen coklat yang harus dibeli dengan uang saku sendiri kepada teman-temannya. Tetapi kepala sekolah itu dapat pula berbuat lebih akrab. Saya pernah melihat anak saya disuruh mencium pipinya, dan anak saya melakukan apa yang disuruh gurunya. Sedangkan dengan saya saja, kalau dilihat orang lain dia tak mau cium pipi seperti itu.

Seorang pendidik memang demikian seharusnya. Tapi jumlah orang yang seperti itu mungkin sedikit sekali. Kepala sekolah anak saya itu adalah guru tua, yang sudah sejak dahulu punya profesi sebagai guru. Bagi saya anak memang harus takut pada gurunya, tetapi di suatu saat mereka dapat pula akrab. Di Inggris misalnya, seorang guru ditakuti, tetapi dia dihormati.

Perkembangan kejiwaan, tanggung jawab orang tua

Hubungan atau kontak antara orang tua murid dan guru yang pernah saya lihat hanya terbatas pada saat pengambilan rapor atau saat-saat kita dipanggil menemui guru. Saya mendapat kesan, kontak guru dengan orang-orang tua itu kurang. Kadang-kadang ia disebabkan oleh kesibukan orang tua murid, tetapi ada pula yang oleh sekedar segan melakukannya. Yang saya lihat pada umumnya, untuk acara mengambil misalnya, yang datang itu selalu ibu si murid. Untuk tingkat SD mungkin tak apa-apa. Untuk tingkat SMP dan SMA, menurut saya, ayah juga harus aktif untuk itu. Pada anak seusia itu, figur ayah harus memperlihatkan dominasinya. Tokoh ibu adalah orang yang memberikan sentuhan-sentuhan lembut bagi anaknya. Tetapi ayah adalah tokoh yang harus memperlihatkan prinsip-prinsip. Hanya saja kini, ada kesan dimana anak diharuskan mengerti tentang orang tuanya, bukan orang tua yang mencoba memahami anaknya. Saya melihat ini dalam lingkungan yang pernah saya jumpai.

Untuk perkembangan jiwa, terutama buat yang menginjak usia puber, orang tua memang harus bertindak sebagai teman anak-anaknya. Sikap terus terang antara keduanya harus ada. Anak dibantu dalam memecahkan persoalan yang dia hadapi. Kepada anak saya, selalu saya katakan bahwa jangan berahasia dengan saya dalam menghadapi persoalan yang tak dapat dia pecahkan. Ia harus dipecahkan dengan orang tua. Jadi, disini peranan orang tualah yang paling utama.

Di suatu saat dimana perlu, anak memang harus dimarahi. Tetapi jangan lupa mengatakan kepadanya, apa yang jadi alasan kita untuk marah. Alasan itu harus dikemukakan dengan jelas, sehingga anak tidak merasa dimusuhi atau dianggap tak dihargai atau dibenci. Bagaimanapun suasana rumah adalah yang paling utama bagi anak-anak. Yang menjaga itu adalah orang tua, karena bagaimanapun juga, lingkungan luar tak mungkin dapat dihindari anak-anak. Sekolah adalah tempat untuk mendapat pendidikan formal.

Guru : Menyampaikan pengetahuan dan menanamkan nilai-nilai

Guru sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas, sebetulnya harus menjalankan fungsi ganda. Pertama-tama dia harus menjadi orang yang menyampaikan informasi pengetahuan kepada murid-muridnya. Asalkan dia lebih pandai dan tahu bagaimana cara menyampaikan informasi tersebut, itu sudah cukup. Tetapi selain itu, dia juga harus turut membentuk kebiasaan-kebiasaan baik untuk anak didiknya. Daam hal ini seorang guru perlu berfungsi sebagai orang yang menanamkan nilai-nilai dalam pembentukan pribadi anak. Pendapat seperti ini saya kemukakan berdasarkan pengalaman sehari-hari yang pernah saya rasakan.

Sebenarnya, semakin muda usia anak-anak didik, peranan guru semakin kompleks. Peranan seperti guru SD, SMP dan SMA yang saya sebut tadi tidak akan demikian adanya bagi seorang dosen di perguruan tinggi.

Pengarahan bagi murid

Dalam hal pembentukan identitas pribadi, seorang anak tentunya harus dapat pengarahan. Identitas pribadi adalah gabungan beberapa konsepsi si anak itu sendiri tentang dirinya. Si anak melihat banyak peranan orang dewasa dan mereka memainkan peranan itu untuk dirinya sendiri. Interaksi dengan lingkungan banyak berpengaruh disini. Masalahnya adalah, mana yang akan paling berpengaruh : orang tua, sesama kawan, dalam peer group atau yang lain.

Pada masa saya bersekolah dulu, saya melihat bagaimana commitment seorang guru pada tugasnya. Ketika dia menerangkan pelajaran biologi dia juga bercerita tentang yang lain – mengajarkan nilai-nilai – yang bagi si murid banyak manfaatnya. Menurut saya fungsi seorang pendidik antara lain adalah demikian. Di samping dia menyampaikan informasi ilmu pengetahuan, dia juga turut menanamkan nilai-nilai dalam pembentukan identitas anak-anak yang dihadapinya.

Kini banyak dipertanyakan orang : lunturkah wibawa guru ? dalam beberapa sinetron di televisi buatan kita akhir-akhir ini, muncul suatu kesan tentang tenaga pendidik ini. Ada sinetron di televisi yang adegannya menunjukkan murid-murid menertawakan guru, karena ketika berolah raga, celana si guru tadi sobek. Dalam sinetron di televisi yang lain juga ditemukan adegan mahasiswa konflik dengan dosennya gara-gara seorang mahasiswi. Sinetron-sinetron di televisi itu tidak eksplisit mengatakan bahwa wibawa guru sudah merosot, tetapi yang ia cerminkan mungkin saja suatu anggapan masyarakat. Apalagi belakangan ini di surat kabar-surat kabar kerap kita baca berita guru bentrok dengan murid. Hanya saja, sebagaimana yang lazim dalam sinetron di televisi kita, tokoh guru muncul dalam stereotype. Seperti tokoh pengusaha, dan lain-lainnya, guru dalam sinetron tersebut tidak muncul secara realistis.

“Pembuktian diri” seorang guru

Untuk masa sekarang, saya melihat bahwa seorang guru tidak mudah diterima begitu saja oleh muridnya. Dia terlebih dahulu harus membuktikan bahwa dia dalam hal pengetahuan dan sikap memang patut menduduki tempat itu. Keadaannya sudah jauh berbeda dengan pemunculan seorang guru di zaman kolonial tempo dulu, yang diterima murid tanpa goyah. Pada saat seperti itu murid tinggal melaksanakan apa yang harus dilaksanakan. Tetapi kini tidak lagi demikian halnya.

Namun demikian, tidak ada kontinuitas budaya kita juga menimbulkan posisi sulit bagi seorang pendidik. Kita dewasa ini mulai meninggalkan beberapa ukuran yang dipandang tradisional. Tetai disamping itu nilai-nilai yang disebut baru juga belum jelas. Kita tetap masih ragu dan was-was bagaimana anak-anak didik ini nanti menyelesaikannya, jika untuk yang baru ini ada pertentangan.

Dalam cara orang tua menghadapi anak-anaknya, tampak dua jenis sikap yang berbeda. Yang pertama adalah orang tua yang punya sikap mendidik penuh dengan keyakinan dan menyampaikan nilai-nilai itu dengan yakin pula kepada anak-anaknya. Tetapi, pada diri si anak timbul rasa ngeri. Disitu juga ada keragu-raguan pada si anak. Yang kedua adalah mereka yang bersikap mendidik penuh dengan kehati-hatian. Karena terlalu berhati-hati itu, ia tampak tidak meyakinkan. Misalnya, mereka tahu bahwa nilai-nilai yang dibawa dari masa kolonial tempo dulu tidak lagi dapat diterapkan sekarang. Ada sikap untuk terbuka belajar dari anak. Mereka tahu nilai-nilai yang sudah tertinggal. Tetapi mereka sendiri juga masih ragu-ragu untuk yang baru. Menurut saya kedua sikap ini tetap tidak meyakinkan dilihat dari cara mendidik.

Sopan santun demokrasi

Pada masa sekarang, dimana suasana budaya kita masih paternalistis, sikap yang otoriter tampaknya lebih mudah diterima. Ia juga terlihat pada mereka yang berkuasa atau berwenang, yang sama artinya dengan menduduki posisi orang tua. Sebutan “bapak” dan “ibu” yang kita pakai dewasa ini sebenarnya meneguhkan kembali nilai-nilai paternalistis tersebut.

Disamping itu, untuk sikap yang demokratis ada pula kekurangan. Kita belum mempunyai sopan santun demokrasi. Pendidikan demokrasi kita masih kurang. Pimpinan yang bersikap demokratis dapat juga dipandang enteng oleh bawahannya. Ia cenderung kehilangan wibawa. Dalam suasana demokratis itu sebetulnya, kritik jangan bersifat personal. Pendekatan tradisional harus ditinggalkan. Tapi yang terjadi tak selamanya demikian. Sesuatu yang seharusnya lugas dapat saja jadi emosional. Sebetulnya kita belum menemukan sopan santun demokrasi itu. Dalam dunia pendidikan ia pun demikian.

Seharusnya dikala kita menjauhi sikap otoriter yang kita pandang sudah tak pada tempatnya lagi dalam menjalankan demokrasi tersebut apalagi memakai pendekatan berbasis kompetensi, guru harus dapat membuktikan dirinya di depan murid sebagai pribadi yang harus dihormati. Kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang sifatnya lebih santai, dapat mencerminkan demokrasi itu. Tetapi kegiatan itu sendiri sebetulnya hanya merupakan medium. Ia jangan dibiarkan terlalu santai. Guru harus dapat memanfaatkannya untuk menyampaikan nilai-nilai yang perlu dalam pembentukan pribadi anak didiknya itu.

Penghargaan masyarakat

Dewasa ini, guru yang terpanggil karena idealisme tentu tidak akan mudah luntur dalam tugasnya. Tetapi kadar idealisme itu pasti berbeda antara satu dengan yang lain. Namun tanpa mempersoalkan ada tidaknya idealisme seseorang sebagai pendidik, ternyata tak banyak guru yang pindah pekerjaan. Tetapi harus pula kita akui, bahwa masyarakat yang berorientasi pada white collar job dan mengejar status tertentu, tak banyak punya orang yang berminat jadi guru. Saya pikir, pembentukan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) tempo dulu dengan memberinya status sama dengan universitas adalah suatu kompromi. Dengan cara itu ingin dikatakan bahwa guru juga punya status, sebagai sarjana. Tetapi rupanya kemudian ia menjadi lain. Bagi para lulusannya agaknya penekanan lebih banyak diberikan kepada kesarjanaannya, dan kurang banyak diberikan pada fungsi sebagai pendidik.

Dahulu guru-guru yang kehadirannya dapat diterima murid tanpa goyah, memang orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang memenuhi syarat sebagai pendidik. Sekarang, kebutuhan semakin banyak, kualitas agaknya memang banyak dikorbankan.

Tanggung jawab orang tua dan guru

Orang tua dan guru sama-sama bertanggung jawab pada anak didik. Tetapi keselarasan antara keduanya, tampaknya sangat tergantung dari sekolah yang menyelenggarakan pendidikan itu sendiri. Ada juga sekolah yang hanya mengundang orang tua sekedar untuk memberikan rapor si anak. Jika waktu itu ada percakapan antara keduanya yaitu agak dipaksakan.

Dalam hal ini saya melihat posisi orang tua tidak begitu enak. Posisi mereka agak sulit. Guru sering menuding orang tua untuk hal-hal yang bersangkutan dengan kenakalan anak didik. Biasanya orang tua dalam keadaan demikian akan membela diri. Dan “mencuci tangan”. Dan harus pula kita sadari bahwa anak-anak dalam peer group mereka, sama sekali tidak akan “tercapai oleh tangan orang tua maupun guru. Dalam keadaan seperti itulah orang tua cenderung membela diri jika dituding oleh guru untuk hal-hal yang menyangkut kenakalan anak didik. Untuk posisi orang tua, cara otoriter dimana kita bisa berkata : “si anak salah” agaknya memang lebih enak.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmad. 1983. Psikologi Umum. Surabaya : PT. Bina Ilmu.

Depdiknas. 2000. Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta : Depdiknas.

_________. 2000. Penilaian dan Pengujian untuk Guru SLTP. Jakarta : Depdiknas.

 

Drs. Sujibto, S.Pd. Tempat dan Tanggal Lahir : Sumenep, 07 – 09 – 1963 Pekerjaan : Kepala SMPN 2 Giligenting, Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Raden Rahmat di Sumenep. Pengalaman Pendidikan : Mahasiswa Program Pasca Sarjana (S2) UNISMA. Organisasi : Sekretaris IPBI Sumenep dan Pengurus LP Ma’arif MWC NU Kota Sumenep. Alamat : Jl. KH. Mansyur I / 18A Pangarangan Sumenep.

 

 

Back To Daftar Isi

KOLOM

MEMBACALAH, TAPI JANGAN HANYA MEMBACA

Oleh: Akhmad Nurhadi, redaksi Edukasi

 

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan

(Qur’an, 96:1)

Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah.

(Qur’an, 96:3)

(Pekerjaan mengisi kolom kali ini ternyata membawa berkah tersendiri. Betapa tidak, sebulan ini saya harus melakukan perjalananan kreatif, dimulai dari penggalian ide, pematangan ide, sampai pada proses pengabadian ide dalam bentuk tulisan (kolom). Tentu saja termasuk di dalamnya telaah literatur: artikel, buku teks, modul. Berkah pemahaman ini dapat kita nikmati bersama sebagai berikut ini).

Diskursus aktivitas membaca dapat dicarikan referensinya melalaui perspektif ranah filsafat, teologi, sains, sastra, sampai dengan argumen yang bersifat pragmatis. Itu berarti kita dapat mempersepsikan, bahwa fadlilah aktivaitas membaca memang diakui secara mutawattir oleh belbagai kalangan. Kalau saya tidak diperkenankan memakai istilah fadlilah, saya masih bisa meminjam konsep Horace: dulce and utile, keindahan dan kegunaan Walhasil jadilah wacana membaca itu indah dan berguna.

Keindahan aktivitas membaca dapat dianalogkan dengan keindahan permaian bola basket. Perhatikan (paling tidak di tv) bagaimana indahnya Tony Parker (pemain Spurs) menerima atau merebut bola, melemparkannya ke pihak kawan, atau bahkan dengan lompatan gemulainya memasukkan bola ke keranjang lawan. Sama indahnya dengan bagaimana pembaca berupaya menangkap pesan bacaan secara aktif, mamahami, kalau perlu mengomentari isi bacaannya. Kias aktivitas membaca sebagai kegiatan fisik tidak sulit kita terima, walaupun sejatinya aktivitas membaca lebih cenderung sebagai aktivitas intelektual. Reading as thinking. Reading as reasoning.

Aktivitas membaca juga dapat diibaratkan dengan upaya membuka jendela dunia. Oleh karenanya barangsiapa banyak membaca maka yang bersangkutan akan banyak ilmu pengetahuan dan sekaligus pengalamannya. Di sini tergambar fungsi dan kegunaan membaca bagi kehidupan manusia.

Sejalan dengan alur pikir di atas manfaat membaca menurut Jordan E. Ayan (dalam Quantum Reading, 2004) antara lain membaca menambah kosa kata serta pengetahuan akan tata bahasa. Membaca juga berarti memicu imajinasi.

Aktivitas membaca memang penting. Tapi menjadikan membaca sebagai satu-satunya keterampilan dan sekaligus kegiatan yang perlu mendapatkna perhatian, jelas tidak bijaksana. Penelitian Paul T. Rankin dan penelitian Vernon Magnesen membuktikan tesis di atas.

Penelitian Paul T. Rankin dari Detroit Public School (1929) menunjukkan bahwa penggunaan waktu berkomunikasi dari sample individu berbagai jabatan dan pekerjaan, sebagai: menulis 9%, membaca 16%, berbicara 30% dan menyimak 45%. Membaca menduduki urutan ke tiga, setelah menyimak, dan berbicara.

Penelitian Dr. Vernon Magnesen mengungkap prosentase daya serap ingatan. Jika kita melakukan sesuatu aktivitas belajar dengan menggunakan indera tertentu, misalnya: membaca diperoleh angka 20%, mendengar 30%, melihat 40%, mengucapkan 50%, melakukan 60%, bersama-sama (melihat, mengucapkan, mendengar, dan melakukan) 90%. Di sini tampak, bahwa pembelajaran dengan menggunakan multi indriawi merupakan gaya belajar yang paling efektif, yaitu 90% bandingkan dengan angka yang diperoleh dengan hasil membaca yang hanya 20% saja.

Dua penelitian di atas memberikan indikasi kepada kita, bahwa ternyata membaca bukanlah satu-satunya maenstream komponen keterampilan dan sekaligus kegiatan yang harus dikuasai dan dilakukan, tetapi masih terdapat keterampilan dan kegiatan lain yang tidak kalah pentignya, yaitu: menyimak, berbicara, dan menulis.

Minat yang berimbang terhadap keempat keterampilan dan kegiatan tersebut merupakan sesuatu yang ideal. Idealisasi semacam ini yang seharusnya kita inginkan berkembang di keluarga, masyarakat, dan bangsa. Sehingga pada akhirnya keluarga kita, masyarakat kita, bahkan bangsa kita menjadi masyarakat literat atau masyarakat yang menjadikan aktivitas baca-tulis menjadi bagian penting dari budaya hidupnya. Bukan masyarakat yang hanya pintar asbun, ngomong doang, atau bahkan masyarakat yang hanya mau mendengarkan saja alias sendhiko dhawuh alias yes-man

 

 

Back To Daftar Isi

Gemar Membaca : Problema

Oleh. A. Mudda'ie Ys

Pada awalnya adalah sebuah impian, dan setiap orang punya impian. Itu pasti dalam bayangan. Semacam kebenaran yang terbukti dalam dunia khayal. Tetapi impian itu tidak cukup benar dalam khayalan semata. Ia mesti kongkrit dalam alam nyata. Itulah yang nyaris belum pasti. Sebuah kebenaran yang harus dilahirkan.

Keinginan mempunyai keturunan, melahirkan anak adalah sebuah impian. Terutama bagi seorang laki-laki dan perempuan yang menjalin cinta dalam satu ikatan tali perkawinan. Melahirkan anak gemar membaca juga sebuah impian. Kedua-duanya memang sama-sama impian. Tetapi tuntutan realisasinya mungkin jauh berbeda.

Yang satu dapat tercapai dengan cara sederhana : hubungan seksual. Selebihnya memanjatkan do'a kepada Tuhan. Yang lainnya tidak cukup disulap dengan do'a semata. Ia butuh banyak kernyitan dahi. Semacam kompleksitas – yang meminta segala kedisiplinan, ketekunan, kecerdasan dan kreativitas. Kongkretnya, melahirkan anak gemar membaca mengandaikan edukasi dan edukasi meniscayakan orientasi.

Lazim pendidikan dikenal sebagai proses jamak berorientasi tunggal. Jamak dalam cara yang ditempuh dan tunggal dalam arah yang dituju : good man. Salah satu ciri manusia baik ialah gemar membaca (buku, diri sendiri, lingkungan sekitar ataupun Tuhan). Ini semua tergantung pada ikhtiar, sejenis budaya yang kita anyam.

Bukan sebuah khayalan, dimana-mana telah terjadi lakon budaya : pendidikan. Di rumah, di sekolah dan mungkin juga di kalangan masyarakat luas. Ironisnya, dimana ada proses pendidikan justeru di situ pula hampir dipastikan muncul orang-orang malas membaca atau belajar. Cukup banyak pelajar kita belajar dengan sungguh-sungguh ketika menjelang ujian tiba. Aktivitas membaca atau belajar tampaknya menjadi selingan hidup belaka, bukan sebuah kebutuhan yang mesti dipenuhi. Sebagaimana layaknya memenuhi kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat berlindung dan seksualitas.

Bukankah belajar itu merupakan aktivitas utama bagi orang-orang yang mengklaim diri sebagai pe(mbe)lajar? Bukankah malas membaca itu suatu tanda bahwa seseorang (pelajar) telah teralienasi dari dirinya sendiri atau dari pekerjaannya sendiri? Tentu saja! Tetapi, mengapa (pelajar) kita masih saja malas membaca atau yang terbentuk oleh budaya dari cara kita berada? Semacam budaya dari cara kita mendidik anak didik kita? Bisa saja!

Lalu, apakah yang "salah-urus" dengan pendidikan kita? Apakah yang keliru pada kita : sebagai orang tua atau pendidik? Sudah cukupkah kita mempertunjukkan diri pada anak didik kita sebagai orang tua atau pendidik yang gemar membaca? Bukankah anak didik kita pada awalnya, ketika masih kecil, belajar berbudaya (berfikir, berbicara dan berbuat) dari apa yang didengar dan dilihatnya? Bukankah pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang kerapkali tidak terpikirkan bahkan terlupakan oleh kita?

Ada semacam jawaban tentatif. Rasanya kita telah kehilangan kuda-kuda didaktika : sebuah pedagogi. Kita sebagai orang tua atau pendidik seringkali abai menjadi suri teladan yang "baik" bagi anak didik kita. Bukti nyata, dalam cara teknologi informasi ini, kita (orang tua) sebagai pendidik utama di dalam lingkungan keluarga lebih suka duduk berjam-jam menonton televisi daripada membaca buku, majalah, surat kabar dan lain-lain. Bahkan di sekolahpun kita (guru) tidak cukup cakap membangkitkan nafsu ingin tahu (curiosity) anak didik kita. Kita tampaknya belum atau tidak mampu menjadi "guru yang murid" dan "murid yang guru".

Apa yang kita ajarkan kepada anak didik kita, kurikulum pendidikan kita, nampak sebagai sebuah hidangan yang telah "siap telan" bukan "siap kunyah". Kurikulum menjadi semacam barang "jadi" bukan "menjadi". Ia seolah-olah menjadi sebuah kebenaran yang telah ditakdirkan benar, walaupun pada kenyatannya tidak selalu benar. Sebuah kurikulum yang terisolasi dari pengalaman riil anak didik.

Evaluasipun tidak jauh beda. Ia menjadi sejenis usaha "menyesuaikan" jawaban-jawaban dengan daftar kebenaran yang telah ada. sebuah evaluasi yang tidak memiliki nilai tawar, untuk sebuah kreativitas. Sebuah tolok ukur yang dicap dengan harga mati. Itulah potret prefensial budaya pendidikan kita yang telah berlansung berabad-abad di atas bangunan mental-kognitif-afirmatif : sebuah pseudo-education.

Akhirnya kita berharap, mudah-mudahan kita, terutama orang tua, tidak hanya produktif melahirkan anak, tetapi juga produktif melahirkan anak gemar membaca. Semacam individu yang memiliki mental dan budaya baca yang tinggi.

 

 

Back To Daftar Isi

RESENSI

PENDIDIKAN MENJADI SEORANG PENULIS

Oleh. Siti Mamnunah al-Hanun

Judul Buku : GAIRAH MENULIS :

Panduan Menerbitkan Buku untuk Penulis Pemula

Penulis :Lasa Hs

Tebal :198 + x halaman

Penerbit :Alinea Yogjakarta, April 2005

 

Kemajuan peradaban suatu bangsa, sudah menjadi keyakinan ideal yang tidak akan bisa lepas dari aktivitas membaca yang dilakukan. Maju dan tidaknya sebuah bangsa secara faktual sangat ditentukan oleh kesadaran membaca masyarakat yang ada di dalamnya. Membaca dengan demikian telah menjadi bangunan dasar tentang gerak dan dinamika suatu bangsa guna meraih peradaban yang sangat gemilang. Membaca laksana fondasi dari bangunan besar bernama peradaban yang harus berdiri sangat kokoh. Dengan kata lain, membaca merupakan syarat utama dalam membangun peradaban manusia. Semakin meningkat bacaan seseorang maka akan semakin meningkat ilmu pengetahuan seseorang. Artinya, semakin meningkat pula peradaban manusia (hlm. 45).

Bahkan ayat iqro’ yang diturunkan sebagai wahyu pertama pada nabi Muhammad sekaligus menjadi simbol tentang komitmen besar Islam dalam membangun peradaban dunia melalui upaya membaca yang maksimal,yang pada gilirannya akan mampu melahirkan peradaban yang betul-betul sesuai dengan harapan. Yaitu peradaban besar dengan luapan karya yang beragam. Dengan kata lain, filosofi dari ayat iqro’ juga mengidealkan terciptanya masyarakat yang memiliki kesadaran hakiki tentang membaca guna menciptakan masyarakat berperadaban Sehingga tidak heran kalau membaca dianggap sebagai satu-satunya sarana paling substansial dalam menopang terciptanya peradaban umat manusia sejak awal sampai akhir perjalanan kehidupan manusia nantinya. Membaca dan peradaban bagaikan dua sisi mata uang dan laksana pautan cinta Adam dan Hawa yang sangat mustahil untuk dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Walaupun, sebenarnya kita harus jujur, membaca tidak serta merta menjadi kekuataan dominan dalam upaya melahirkan peradaban yang maksimal, tanpa ada penerjemahan yang lebih kreatif terhadap membaca itu sendiri. Karena peradaban pada hakikatnya mengidealkan karya dan kreativitas yang sangat konkret. Ini berarti membaca bukanlah satu-satunya media bagi kemajuan peradaban, tanpa adanya kesadaran untuk menuliskan apa yang telah dibacanya menjadi sebuah bangunan karya yang utuh.

Dengan kata lain, membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang menjadi penopang peradaban itu sendiri, bukan hanya terfokus pada kesadaran melakukan pembacaan, tetapi juga memiliki komitmen untuk kreatif melakukan aktivitas menulis. Apalagi Islam bukan hanya memerintahkan membaca, tetapi di sisi yang lain Islam juga mencantumkan tentang tulis menulis (Qs. Al-Qolam : 1). Menulis dan membaca (atau membaca dan menulis) merupakan dua elemen yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Menulis tanpa membaca ibarat orang buta yang berjalan. Sementara itu membaca tanpa menulis adalah ibarat orang pincang (hlm. 5).

Buku ini secara detail mengupas tentang makna penting menulis plus membaca sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gagasan bernuansa motivatif tentang bagaimana menjadi penulis handal dengan karya-karya yang sangat kreatif menjadi impian dari gagasan penulis buku ini. Bukan hanya taktik dan strategi menjadi penulis yang diulas secara tuntas, tetapi juga menyangkut pada wilayah teknis bagaimana sebuah karya dapat disebarkan dan dinikmati oleh masyarakat luas berdasarkan pengalaman konkret penulis buku ini, sehingga karya-karya yang dihasilkan nantinya tidak hanya menjadi karya beku yang tidak mampu dinikmati oleh orang lain. Seorang penulis setidaknya harus memiliki perasaan maslahah bagaimana karya yang telah dihasilkannya dapat juga menjadi inspirasi bagi orang banyak, sehingga perlu adanya kesadaran yang utuh agar karya yang telah dihasilkan bisa dibaca oleh masyarakat, karena itulah sebenarnya sumbangan terbesar bagi kemajuan peradaban.

Kesadaran semacam ini, tentunya harus dimiliki oleh seorang penulis dan masyarakat secara umum. Sehingga sebuah karya yang telah ditulis pada gilirannya mampu diserap dan menggugah kesadaran masyarakat untuk dibaca. Bukan masyarakat yang sama sekali tidak memiliki kesadaran ganda, antara membaca dan menulis. Walaupun, seperti yang dirasakan oleh penulis buku ini, bangsa kita hari ini memang tengah mengalami stagnasi kesadaran untuk menulis. Anehnya, hal itu sangat dirasakan di kalangan akademisi setingkat dosen di perguruan tinggi yang selama ini dianggap sangat berbobot (hlm. 37). Na’ udzu billahi mindzalik !

Mandulnya kreativitas mereka di sisi yang lain menjadi bukti sangat sederhana tentang masa gelap untuk menggapai supremasi kemajuan peradaban. Kreativitas yang seharusnya tetap konsisten mereka lahirkan, pada gilirannya tidak akan mampu memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi gerak dan dinamika kemajuan masyarakat. Mandegnya aktivitas kreatif para dosen sudah barang tentu juga akan memperlambat bangunan peradaban yang diharapkan. Menurut Sri Rahardjo, sedikitnya jumlah tulisan hasil-hasil penelitian di Indonesia antara lain disebabkan : pertama, tidak adanya motivasi (malas) untuk menulis karena tidak adanya reward atau peer recognition. Kedua, minimnya keterampilan menulis, apalagi dalam teks berbahasa Ingris (hlm.39).

Oleh karena itu, buku ini selain mengugah, memberikan solusi agar terciptanya bangunan kesadaran gemar menulis, juga sebagai otokritik bagi kita sendiri terutama kita yang secara formal harus mampu menampilkan diri sebagai pemproduksi karya (buku : bahan bacaan) demi bangsa dan negara. Salah satu faktor penopang yang harus dimiliki oleh seorang penulis. Pertama, kemampuan kognitif, yakni kemampuan pengembangan intelektual yang terus menerus. Kedua, sikap terbuka, yakni sikap siap menerima rangsangan atau stimulus internal dan eksternal. Ketiga, mandiri dan percaya diri. Seorang penulis adalah seorang yang mampu berfikir mandiri dalam menghadapi dan menciptakan gagasan, ide, tanggapan, dan pemikiran tertentu. (hlm. 93).

Akhirnya, membaca buku ini kita akan diajak untuk menyelami samudera pengalaman guna meraih mutiara suci “termotivasi” agar kita juga sadar mengapa kita harus berkarya dan menulis? Jawabannya tidak terlalu panjang seperti yang oleh penulis buku ini tuangkan di akhir kata pengantarnya : Negeri ini, masih merindukan lahirnya banyak penulis.

 

Penulis adalah Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswi (BEMI) Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA) Guluk-Guluk dan Fungsionaris Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Sumenep 2005-2006.

 

 

Back To Daftar Isi